Search This Blog

Monday, February 8, 2021

World Solo Traveller

 

Saya sudah solo traveling ke 40 an negara. Yes, 95% perjalananku aku lakuin seorang diri.

Ada banyak suka dan dukanya.

Ini pertanyaannya dukanya saja kan? Tentu saja ada cukup banyak pengalaman duka yang aku hadapi sebagai solo female traveller ketika menjelajahi negara di belahan bumi yang berbeda.

  1. Tidak ada tempat sharing. Terkadang juga merasa kesepian karena tidak ada teman untuk berbagi, tidak hanya berbagi cerita atau ngobrol tetapi juga berbagi patungan buat ongkos transportasi, penginapan, atau buat makan. Sebenarnya hal ini bukan masalah atau duka besar karena aku lebih suka menginap di hostel. Selain lebih murah juga bisa sering mendapatkan kenalan baru dari negara lain yang juga sedang solo traveling. Atau kalau tidak bisa menggunakan aplikasi traveller.
  2. Sedih. Kalau aku pribadi sebenarnya bukan kesepian tapi lebih ke kesedihan. Kenapa? Akulah yang tanggung jawab dengan diriku sendiri. Saat ada masalah, aku sendirilah yang menghadapi semua tantangan dan risikonya. Jangan dikira keliling dunia hanya enaknya aja terus tidak pernah ada masalah? Salah itu. Kemanapun kamu pergi, ke Mars sekalian, cobaan atau masalah pasti ada. Kalau sedang traveling sendirian terus mendapat masalah, rasanya sedih bangettttt.
  3. Kurang aman. Kadang takut. Ini memang konsekuensi solo traveling apalagi cewek. Setahun yang lalu aku pergi solo traveling ke Afrika ke negara Tanzania, Kenya, dan Ethiopia. Sebagian besar negara-negara di Afrika kurang aman. Aku tidak pernah jalan sendirian di malam hari demi alasan keamanan. Namun ketika berada di Addis Ababa Ethiopia aku pernah terpaksa berjalan sendirian pada malam hari. Situasi sangat sepi di atas jam 10 malam. Hampir tidak ada pencahayaan lampu. Semua toko sudah tutup. Terus tiba-tiba ada orang mabuk lewat di depanku. Tidak ada orang lain di jalan. Aku hanya terus berdoa sambil nangis-nangis sendirian karena ketakutan. Horor banget ngalahin horornya kuburan. Takut kalau kalau sampai terjadi sesutu. Dan untung saja kenalanku orang Ethiopia datang menjemputku di jalan. Dan btw walaupun aku solo traveller tetapi selama di Afrika aku hampir tidak pernah jalan sendirian, sebisa mungkin minta ditemani teman atau kenalan orang Afrika sana. Selain merasa kurang aman, juga karena fasilitas umum dan sistem transportasi di Afrika yang masih kurang memadai.
  4. Rawan mendapat pelecehan atau tidak menyenangkan. Pengalaman pahit ini pernah aku alami saat traveling di Baku Azerbaijan. Aku hampir pernah dicoba untuk dilecehkan oleh seorang cowok traveler dari Cina. Lokasinya ini di hostel. Dia berusaha mau merabaku. Aku gak terima lalu aku pukul dia. Sesudah itu, aku tampar mukanya dengan sangat kencang. Dan kemudian dia langsung berbalik menampar mukaku dengan lebih keras. Bayangin tangan cowok gedhe buat nampar cewek. Aku langsung jatuh seketika. Badanku panas. Seketika itu gaduh ramai situasinya di hostel. Tak lama kemudian dia cepat-cepat kabur dari hostel sebelum polisi datang. Kabarnya dia langsung memesan tiket ke Georgia agar secepatnya meninggalkan Azerbaijan. Pengalaman duka lainnya juga terjadi di Yordania, Iran, Turki, Maroko, yang notabene adalah negeri-negeri Muslim. Aku sama sekali tidak merasa aman solo traveling di negeri-negeri Muslim, kecuali di Qatar dan Uni Emirat Arab. Di negeri sekuler malah lebih aman dibandingkan di negeri Muslim. Kalau tidak pelecehan fisik, juga sering berbentuk pelecehan verbal. Ngeri tatapan mereka kalau lihat cewek asing berjalan sendirian. Di Istanbul Turki saja aku ada pengalaman pahit yaitu pernah ada cowok masturbasi di depan mataku. Btw info, di negeri-negeri Arab, cewek-cewek Indo, Filipina dipandang rendah di negeri Arab, dianggap sebagai cewek kaum pembokat karena banyaknya TKW yang kerja kasar disana. Ini bukan aku yang ngomong sendiri ya, tapi temanku orang Arab sendiri yang bilang.
  5. Sering bingung sendiri. Ini juga pengalaman dukaku. Maksudnya sering bingung karena mau pergi kemana. Pernah aku ditinggal sama temanku di Lahore, Pakistan seorang diri. Temanku ini orang Pakistan, teman kenalan saat konferensi di Rusia. Ada miscom sedikit. Eh dia pergi begitu saja. Tega banget dia pergi ke Islamabad, aku ditinggalin begitu saja di Lahore. Aku yang awalnya mengggantungkan dia, jadi kerepotan berjuang sendirian. Nangis-nangis di jalanan. Di Lahore tidak banyak orang bisa bahasa Inggris. Aku tidak punya duit cash Paktistan, cuma pnya dollar, tidak punya simcard lokal. Lalu aku tarik duit di ATM tapi ternyata tidak semua ATM di Pakistan bisa support Visa ataupun Mastercard. Aku bingung noh, untung bisa naek taksi online bayar online. Aku sampai di terminal bis, beli tiket, tapi mereka cuma terima cash. Aku memelas melas ke petugas biar bisa bayar dollar dan dikembalikan dalam bentuk uang cash Pakistan. Syukurlah mereka mau menerima. Aku selamat setelah nangis-nangis gak jelas seorang diri. Wkwkwkk. Oh iya, aku pernah ke India, tapi cuma ke Kochi. Belum pernah ke New Delhi. Coz aku takut :( Temanku bilang banyak cerita duka ketika solo female traveller pergi di New Delhi.
  6. Sering kesasar. Google map tidak selalu benar. Pernah ketinggalan kereta saat di Guangzhou China. Penyebabnya adalah aku kesasar. Aku sampai kelabakan seorang diri, di Cina jarang banget yang bisa bahasa Inggris. Untungnya di Cina baik banget sistemnya, aku dikasih tiket baru gratis. Tidak ada potongan sama sekali. Selain itu, pernah ketinggalan pesawat di Macau. Penyebabnya adalah aku salah naik bus. Kalau ini hangus tiketku gak diganti sama sekali sama air asia. Aku malah dipaksa beli tiket baru seharga 300$. Ilang tiket ilang duit. Kampret memang.
  7. Pernah distop diinterogasi di imigrasi bandara Tesla di Serbia. Petugasnya heran lihat pasporku penuh cap. Terus tanya mau ngapain pergi ke Maroko? Coz aku mau terbang ke Maroko setelah dari Serbia. Terus ditanyain blablablabla.. Paspor ijo memang gak keren dan lemah. Untung saja aku punya kenalan orang Serbia. Ditelponlah temanku sama petugas imigrasi. Setelah bicara bla bli blu bla bla, kemudian petugas meloloskanku.
  8. Apalagi ya wah banyak sekali kalau diceritakan mengenai dukanya, gak habis-habis dukanya. Namun masih lebih banyak sukanya.

Bonus foto di Amman, Yordania.

6 komentar dari Aditya dan lainnya

I Gusti Bagus Adiputra Prakarsa · Dijawab 25 Februari 2019
Kalau pergi ke Kamboja pertama kali sebaiknya anda pergi ke Angkor Wat. Candi peninggalan Hindu terbesar di Kamboja yang terletak di Kota Siem Reap sekitar 400 an km ke utara dari Kota Phnom Penh ( Ibukota Kamboja ). Sebelum berkunjung kita harus membeli tiket seharga USD 37 berlaku sehari penuh. Ha
(lanjut)

Hal-hal basic yang harus dipersiapkan untuk keluar negeri khususnya bagi para pemula.

Paspor itu satu yang pasti

Paspor ini memang jadi satu-satunya dokumen yang "standar internasional", semua negara pasti mengeluarkan dan membutuhkannya untuk perjalanan antar negara.

Jangan lupa cek expiry date alias tanggal berlaku sampai kapan/kadaluarsa paspor kamu, karena setiap negara bisa menolak paspor yang dianggap "terlalu tua/terlalu dekat dengan tanggal habis berlaku"

Terlalu tua itu berapa lama bos?

Setiap negara itu beda-beda aturannya, harus dicek. Tapi kalau mau aman, itu minimal 6 bulan sebelum masa berlaku habis.

Saya pernah lihat ada juga negara yang lebih santai, minimal "umur" paspornya 2–3 bulan sebleum masa berlaku habis. Tetapi biar aman, 6 bulan. Karena itu hampir semua negara pakai standar ini.

Jadi kalau sudah mau memasuki "umur kritis" tersebut, perbarui paspor kamu terlebih dahulu.

Lanjut, yang kedua adalah visa

Visa ini semacam clearance / izin jalan dari kedutaan atau otoritas imigrasi negara yang bersangkutan. Persyaratan agar bisa dapat visa dari kedutaan berbeda-beda tiap negara, tapi kalau mau dirunut sebenarnya garis besarnya sama saja, yaitu:

  1. Formulir data diri & datang ke kedutaan untuk wawancara dan ambil data biometrik (sidik jari dll)
  2. Bukti dokumen perjalanan (pemesanan tiket pesawat/akomodasi)
  3. Bukti sumber pendapatan (agar menjadi "jaminan" bahwa kita tidak overstay/menetap jadi penduduk gelap disana)
  4. Bukti kesehatan (hasil MCU/check up medis biasanya, kadang perlu ditambah suntik vaksin seperti kalau mau Haji)
  5. Bukti justifikasi niatan perjalanan (terutama untuk perjalanan dinas, penampilan seni, biasanya dalam bentuk surat undangan dari penyelenggara/mitra bisnis)

Dan tentunya, sekali lagi persyaratan tiap negara berbeda-beda, dan tidak sedikit negara yang sudah tidak mensyaratkan visa (visa-free/bebas visa) untuk paspor Indonesia, contohnya wilayah ASEAN/Asia Tenggara

Hijau tua = bebas visa, biru = eVisa (hanya isi data diri + bayar online), hijau muda = VOA/Visa-on-Arrival (langsung daftar di airport/pelabuhan/perbatasan), kuning = bisa eVisa & VOA. Abu-abu = prosedur Visa biasa.


Secara formal, kebutuhan kamu memang cuman dua ini, paspor dan visa.

Tapi dari pengalaman saya yang sudah kemana-mana… Walaupun misalkan kamu sudah punya file-file boarding pass pesawat, booking hotel, tiket bus di laptop/HP/email kamu…

Saya sarankan selalu simpan & bawa print-an (cetakan kertas!) dari semua dokumen tiket/reservasi tersebut! Terutama transportasi & akomodasi!

Juga dokumen khusus (entah itu surat/sertifikat/LOA) tentang acara kamu kalau kamu ke negara tersebut disponsori dan bukan sebagai turis/wisatawan (misal: kuliah, ikut konferensi/kompetisi, keperluan kerja dll.)

Misalkan di waist bag/fanny pack/tas slempang kecil kamu.

Ini saya sarankan begini untuk jaga-jaga saja. Saya pernah di beberapa negara Eropa Timur, Amerika Latin, ketemu orang imigrasi/perbatasan yang "rada-rada" lah, pengennya bikin ribet. Yang minta uang damai tanpa justifikasi apapun juga saya pernah ketemu :)

Makanya dokumen begitu selalu pegang didekat kamu, jangan pernah masukin bagasi kopian dokumen-dokumen tersebut.

Jadi kalau ketemu orang imigrasi yang cukup "iseng", kamu siap sedia.

Dan terakhir… selalu cek lagi, cek lagi di Internet, info terbaru dari kedutaan negara tersebut. Siapa tahu ada perubahan.

Jawaban saya cuman jadi garis besar.


Sakit. Yaa…pengennya seneng-seneng tp malah sakit itu ga enak banget. Saya punya pengalaman yang tidak terlupakan saat eurotrip. 30 tahun ga pernah cacar, sekalinya kena pas lagi eurotrip, mantep ga tuh. Pas lagi di Tromso, Norway awalnya saya kira ada jerawat di muka jadi saya biarin. Beberapa hari kemudian pas saya pindah ke Stockholm, Sweden kok menyebar kemana2 sampai ke bagian tubuh lainnya dan saya demam. Tentu saja saya panik, mana sendirian. Mau ke rumah sakit apa engga juga bingung. Lalu saya googling2 dan ternyata cacar itu self healing dari imun. Jadi saya tunggu 2 hari, kalau makin parah atau komplikasi saya akan ke dokter. Jadi untuk nurunin demam saya minum parasetamol (setiap travelling saya selalu bawa obat2an dan vitamin) dan untuk ningkatin imun saya minum vitamin C 500gr 2x sehari. Dan setelah 2 hari untungnya saya ga ada komplikasi dan demam juga mereda, cuma masih timbul cacar (untung di muka cuma dikit) dan gatel2 nya saja. Alhasil saya extend di Stockholm semingguan dan ga kemana-kemana, di apartemen saja (sempet ke supermarket sih beli stock makanan dengan pakaian yg panjang2 karena lagi musim gugur juga). Pas lagi sendirian, demam lagi parah2nya dan jauh dari rumah, keluarga dan teman2 itu loh yg bikin saya sedih dan nangis, huhuhu.


Ah.. Mba Nisa membawa saya kembali ke masa itu…

Pulau Mansinam, Manokwari - Papua Barat.

sumber gambar Google

“Tempat ini tidak akan pernah terlupakan sampai kapanpun.. kesan yang begitu dalam membekas di lubuk hati, tidak akan pernah hilang walau harus melawan waktu yang terus berjalan entah sampai kapan..”

Apa kesannya? Kenapa harus dikenang?

Peristiwa ini adalah salah satu yang terjadi dari sekian banyak hal gila yang saya lakukan..

Jawaban Tommy Pamula untuk Apa hal gila yang pernah kamu lakukan?

Hanya dengan uang Rp.15,000 ditangan untuk “ongkos naik kapal”, saya nekat berangkat menemani she dia bersama pamannya nya berlayar meninggalkan Jayapura..

sumber gambar Google

Walaupun harus tidur tepat dipinggir pintu keluar dek.. karena saat itu jumlah penumpang yang naik keatas kapal membludak dan saya yakin overload karena para penumpang seperti ikan sarden yang berjajar disetiap tangga, lorong, koridor, bahkan diatas atap kapal dan sekoci semua penuh..

(kira-kira seperti ini dan kami tepat di sudut). Sumber Google

Pulau Mansinam adalah tempat wisata religi di Papua karena merupakan tempat bersejarah masuknya Injil agama Kristen pertama kali di Papua dan hari itu 5 Februari 2010 merupakan perayaan ke 155 dimana setiap 5 tahun sekali akan di adakan ibadah dan perayaan besar dan biasanya dihadiri oleh keturunan langsung dari Ottow & Geisler dari Jerman.

Banyak orang dari seluruh Papua bahkan Indonesia (ada juga dari dari umat agama lain) akan datang mengunjungi pulau tesebut untuk sekedar berwisata, mencicipi makanan khas, ataupun menikmati alamnya..

sumber gambar Google

Lantas, apa yang membuatnya lebih bekesan?

Kembali kepada jawaban saya diatas mengenai hal gila yang pernah saya buat..

Sekian.

Terima kasih mba Nisa..


Potensi wisata daerah, gimana garapnya?

*Peregangan dulu soalnya jawaban panjang nih, apalagi soal isu Komodo*

Masalahnya begini…
Potensi satu daerah itu (dalam hal semua sektor ekonomi tersier/jasa, bukan hanya pariwisata) itu bisa naik, bisa juga turun seiring waktu. Bisa diciptakan atau malah hancur.

Dokumentasi pribadi

Jadinya saya ga akan bahas soal potensi, tetapi soal:

  1. Feasibility (aktivitas turisme apa yang manfaat ekonominya lebih besar dari biaya yang dibutuhkan), dan
  2. Segmentasi (pasar turisme mana yang harus ditarget untuk memaksimalkan potensi)

Karena 2 hal inilah yang bisa menentukan apakah potensi tersimpan yang belum terpikirkan di satu daerah bisa jadi viralatau pengembangan potensi yang ada salah sasaran dan malah jadinya pembangunan pariwisatanya menghancurkan, bukannya memaksimalkan, potensi yang ada.

Nah saya akan pakai contoh kasus dari foto diatas saja deh, sambil cerita sedikit roadtrip/perjalanan akhir tahun kemarin.

Foto pertama berenang di antara terumbu karang itu saya ambil akhir tahun 2020 kemarin, di daerah yang saya lingkari di peta diatas - namanya Pahawang di Lampung.

Pahawang ini contoh bagus dari kelompok warga yang mengetahui feasibility dan segmentasi pasar yang ada - sehingga potensi mereka bisa dimaksimalkan. Detilnya gimana?

  • Feasibility: Kelompok warga & investor lokal sekitar tahu jelas - Pahawang sangat tidak feasible (ga masuk biayanya) kalau mau dijadikan semacam Bali baru. Siapa pula bule yang mau atau ada hajat ke Lampung? Paling kalau nyasar atau iseng. Siapa pula orang Jakarta yang mau kesana 1 minggu? Kelamaan. Jadi mereka cari yang lebih feasible saja, membuat Pahawang jadi destinasi weekend/akhir pekan, atau day-trip (jalan-jalan sehari saja). Sekedar berenang di terumbu karang, foto-foto cantik buat IG, makan di pinggir pantai, naik ke bagan nelayan… Kalau pun mau menginap, ya losmen pantai saja. Memang ga ada yang "wah" banget (tapi karena bersih, teratur, ga seperti kebanyakan tempat lain yang saya pernah datangi, saya acung jempol)
  • Segmentasi: Nah setelah mereka tahu aktivitas/wahana/infrastruktur yang feasible , harus cari segmen pasar yang tepat juga. Karena Pahawang ini pulau, bukan di pinggir pantai Lampung/Sumatranya, mereka tahu ga mungkin sekedar remaja pacaran/nongkrong sabtu sore naik motor bebek jadi pasar utama mereka. Pasar utamanya tentu saja keluarga, kelas/sekolah atau kantor dari Bandar Lampung dskt yang mau outing. Karena itu mereka buat paket 1 kapal nelayan 1 hari.

Dari situ mulai bisa deh potensinya dikembangkan, lalu ketika Tol Bakauheni-Palembang sudah jadi & feri ekspres Merak-Bakauheni sudah ada, mulai berdatangan juga orang-orang dari Palembang & Jakarta. Itu potensi terbuka karena perkembangan infrastruktur. Acung jempol deh.

(Nah, ini contoh bagaimana potensi berubah2, dalam hal ini positif, yang tadinya pasarnya hanya orang Lampung, tiba-tiba jadi ada org Palembang & Jakarta juga - ini bukti potensi itu bisa berubah karena faktor eksternal - apakah orang desa bisa memprediksi atau menuntut hal seperti Tol Transsumatra Bagian Selatan? Ya kan enggak. Makanya saya gak fokus bahas potensi! Saya bahas implementasi berdasar feasibility & segmentasi itu)


Oke, itu contoh keren. Dan yang seperti ini banyak terjadi kok juga di tempat lain. Tapi Kalau contoh buruknya, yang malah merusak potensi, kaya gimana?

Bali Selatan sebenarnya salah satu contohnya. Tapi saya ga bisa bilang "merusak potensi banget" juga, karena potensinya cuman berubah saja - pasarnya berubah. Kalau yang mau lebih tenang seperti Bali dulu kala bisa ke Bali Utara atau Bali Timur, masih bisa.

Yang saya khawatir sekarang merusak potensi sih yang satu ini - yang saya gak habis pikir kok bisa lolos rencana macam kayak gini di pemerintahan era sekarang.

Yes, Komodo! Gue tau desainnya keren, modern, aman - but that's not the point! Serius, malah kemungkinan besar merusak potensi - apa lagi kalau mau beneran dijadikan destinasi high-end / luxury travel!

Loh kok gitu? Lah iya, wong saya tahu kok dari pengalaman di Eropa & Amerika orang-orang sana yang memang beneran sanggup luxury travel (jalan-jalannya wong sugih/Sultan) itu seleranya yang kayak gimana. Temen saya punya kok salah satu dari ini

Ski lodge di Swiss (bukan punya temen saya fotonya). Tampaknya rumah tua biasa, sangat tidak mengganggu/mengubah daerah sekitar. Salju menumpuk? Selama tidak ganggu jalan mobil ya dibiarkan saja. Memang namanya juga di gunung dan tempat musim dingin kok.

Asalkan dalemnya… kayak begini

Dari luar tampak tua, asri, dalemnya langsung ketahuan ini memang punya Sultan.

Kalau mau versi tropisnya, yuk kita intip sebentar Bora-bora (Polinesia Perancis, Kepulauan di Samudera Pasifik)

Gubuk/villa kaya begitu di Bora-Bora itu justru St. Regis, Four Seasons… Justru hotel-hotel internasional loh!

Mungkin aneh, tapi lagi-lagi, didalemnya kayak gimana dulu itu gubuk…

Nah loh, dalem gubuk kaya gitu isinya ada pool/kolam renang sendiri, pake panel surya sendiri buat listriknya. Langsung nyemplung ke laut pula, seger bener.

Gitu loh, selera orang luar (terutama barat, entah ya kalau Asia tapi yang saya tahu kenalan Jepang & Singapura saya juga masih sama modelnya) yang bener bisa luxury travel maunya justru yang penting 3 ini:

  1. Akses ke destinasi tersebut mudah (akses kesana, bukan akses disananya seperti apa) karena poin ke-2
  2. Destinasinya sesedikit mungkin diubah alamnya. Malah ingin merasakan "alam asli" daerah tersebut! Bukan dikasih tulisan kayak Hollywood buat di masukin IG atau pendopo/galeri besar modern, gak laku!
  3. Begitu balik ke penginapan, semua kekerenan kehidupan Sultan mereka tetep ada dan terjangkau dari tempat tidur. Tidak perlu mewah gede-gede semua, yang penting apa-apa mudah dijangkau (kolam renang, spa, bar, supir)

Itu aja yang penting mah kalau orang Eropa/Amerika/Australia mau beneran luxury travel ke daerah-daerah alam eksotis nan jauh bagi mereka.

Karena kalau mau ke tempat/habitat yang dipercantik, ya mereka ngapain jauh2 ke Komodo atau Bora-bora gitu, ke Singapur atau Dubai jadi bos!

Tuh, bahkan ga usah keluar Airport pun kalau di Singapur bisa ketemu yang modern kekinian begini.

Mereka tahu setiap tempat itu ada "worthy moment" (momen pas) nya, tidak dipaksakan. Saya saja sudah denger beberapa kali dari temen saya yang memang orang kaya lama Perancis, Dubai menurut dia "surreal" - kok bisa tempatnya padang pasir di mall nya ada ice skate segala, terus bikin mall terbesar pula. Males mereka ngelihatnya, dan berasa aneh.

Kalau yang luxury travel terus pengennya apa-apa dipercantik dimanapun juga dan masih berasa "wah bingits" buat mereka… sepengalaman saya cuman ada 4 demografi yang suka: Arab, Chinese mainland (RRT), Rusia dan OKB stereotipikal Indonesia (bukan semua OKB ya)

*Atau memang karena target pasarnya yang diatas itu semua? Hehe. Bukan maksud ofensif ya, cuman berdasarkan pengamatan pribadi ya. Kalau ada yang berbeda monggo di komen.*

Dan kenapa saya bilang perkembangan Komodo (Jurassic Park + konsep resort-resort sekitarnya) merusak pasar, meresahkan bund…

…Karena nanti yang merasa tidak masuk pasar luxury yang baru ini, ga bakal bisa diserap sama tempat sekitar. Orang kantoran Jakarta biasa nabung terus setengah minggu/4–5 hari ke Labuan Bajo demi ke Komodo, ga bakal bisa disuruh "cobain deh ke Kelimutu/Wae Rebo/Ende/Sumba". Budget ga nyampe, waktu ga cukup. Ujung-ujungnya lari ke Bali-Lombok-Banyuwangi lagi.

Kalau di Bali, Bali Utara, Timur, Banyuwangi bahkan Lombok pun siap menampung yang males dengan Kuta dan kawan-kawan Selatannya.

Jadi ya begitulah… Bagaimana potensi bisa bertambah, atau malah dirusak. Bahkan dalam kasus Indonesia sekarang ini padahal pemerintahnya sama, fokusnya dalam infrastruktur juga sama. Tapi yang satu Alhamdulillah membuka pasar, yang satu eeeeh potensi membunuh.

Tapi lagi-lagi semuanya kembali ke kelihaian investor & warga sekitar untuk mencari wahana/atraksi yang feasible dan segmentasi pasarnya juga masuk. Yang sebenarnya intinya itu kembali kepada dua nasehat yang bisa diterapkan di bisnis apapun…

  1. Kenali modalmu, sumberdayamu sendiri (feasibility)
  2. Kenali pelangganmu (segmentasi)

Dan ketika warga sekitar Pahawang berhasil mengenali sumberdaya & pelanggannya sendiri… Entah kenapa, yang bagi-bagi proyek Komodo sekarang kok agak gimanaaa gitu. Niat segmentasinya gagal paham.

Gitulah mbak Seprianita Randabunga


Selama beberapa kali melakukan perjalanan seorang diri atau solo traveling, saya merasakan suka yang lebih banyak daripada dukanya. Bisa dikatakan dukanya hampir tidak ada atau hanya terjadi di momen-momen tertentu saja.

Duka yang beberapaki saya rasakan adalah kesulitan menemukan orang yang bisa dipercaya untuk menitipkan barang.

Hal ini beberapa kali saya alami. Saya pernah naik kapal laut untuk menyebrang dari pelabuhan semarang menuju karimun jawa. Kalau anda pernah masuk kamar mandi atau toilet kapal, anda pasti tahu seberapa sempit ukuran kamar mandi tersebut. Intinya tidak memungkinkan untuk membawa barang masuk kedalam.

Saat itu penumpang kapal sangat banyak dan saya cukup khawatir untuk meninggalkan barang bawaan saya. Saya hanya membawa satu daypack deuter futura 22 L saja, tapi dalam kondisi itu juga saya tidak mungkin meninggalkan tempat tidur yang sudah saya tempati karena bisa diambil oleh orang lain.

Masih banyak cerita serupa lainnya. Sebenarnya banyak orang baik diluar sana. Namun dalam hal menitipkan barang-barang bawaan, prinsip saya kuat untuk tidak menitipkan ke sembarangan orang.

Gambar hanya ilustrasi, kurang lebih seperti inilah kondisi kapal yang pernah saya naiki itu, bahkan lebih ramai lagi.

Sumber Gambar : Google Image


Duka setiap orang memang berbeda-beda. Secara umum duka saat berwisata sendirian atau solo traveling yang sering orang rasakan, sebagai berikut :

  1. Merasa kesepian. Sebenarnya kembali lagi ke niat anda untuk melakukan wisata seorang diri. Sudah pasti anda sendiri dan kemungkinan merasa kesepaian pasti ada. Tapi bagi saya itu adalah tantangannya. Berinteraksi dengan orang baru adalah kegiatan yang saya sukai, walau hanya sekedar menegur darimana dan mau kemana dengan orang disamping kursi bus. Biasanya dari percakapan itu, saya bisa sharing beberapa topik dengan orang baru. Kalau akhirnya hanya saling dia dalam perjalanan, ya itulah nikmatnya wisata seorang diri.
  2. Tidak memiliki foto diri yang bagus. Kejadiannya seperti meme dibawah ini. Tapi ini bisa anda siasati dengan membawa perlengkapan fotografi sendiri, seperti kamera dan tripot. Kamu memang harus memberi effort lebih. Jika tidak memungkinkan, meminta bantuan orang lain adalah cara paling mudah. Tapi kamu memang tidak boleh berharap tinggi-tinggi dengan hasilnya, setidaknya kamu memiliki dokumentasi pada momen tersebut. Berterima kasihlah kepada orang yang sudah membantu.
  1. Masalah-masalah kecil. Sebaik-baiknya kamu merencanakan sebuah perjalanan, pasti ada saja kenyataan yang tidak sesuai dengan perencanaan. Bisa dikatakan itu termasuk hal duka yang pasti kamu rasakan. Bagi saya, masalah-masalah kecil itu memang harus saya alami dan hadapi. Wisata seorang diri atau solo traveling mengajarkan saya banyak hal, memproses saya dengan baik, dan membentuk karakter saya lebih kuat.

Itulah pengalaman duka yang saya rasakan. Berwisata atau jalan-jalan sendiri itu menyenangkan,loh. Selain untuk refreshing dan bersenang-senang, banyak momen dalam setiap perjalanan yang bisa kamu refleksikan.

Semoga Bermanfaat. Ce.

1 komentar dari Julay Hae
Ditanyakan di Lika-Liku Travelling
Lihat Semua

Saya bantu jawab ya..

Saya terlampau sering kemana mana sendiri, selain tuntutan pekerjaan saya juga tipe orang yang ngga suka ribet. Misalnya, saya ingin makan mie ayam tp rekan rekan saya pengen makan makanan yang lain, saya ngga mau ribet dan ngg mau debat jadinya saya memutuskan untuk membeli mie ayam sendiri.

Duka melakukan wisata sendirian ya sendirian itu dukanya. Tapi ternyata ngga seduka itu juga. Kalau kita takut kesasar, sekarang sudah ada smartphone. Kalau kita takut salah ambil keputusan, pun sekarang sudah banyak artikel yang dapat membantu kita untuk mengambil keputusan.

Saya pernah memberanikan diri sebagai self reward saya atas pekerjaan saya selama 3 bulan. Saya mencoba trip ke Malaysia (Kuala Lumpur) sendirian. Iya sendirian, dan ngga pakai agent apalagi ngajak temen. Saya pesan tiket dan boking hotel menggunakan fitur snap di aplikasi maskapai dengan slogan "now everyone can fly". Iya sih, berbekal keliling Indonesia sendirian, dan hampir mondar mandir transit dan nongkrong di bandara saya jadi yakin kalau saya berani trip sendirian dengan budget yang minim. Ternyata bisa juga kok, dan ngga sedih sedih amat. Karena waktu trip disana, saya ternyata ketemu orang orang Indonesia juga yang dia juga traveling sendirian. Karena sama sama bingung mau kemana akhirnya kita malah traveling bareng dan bisa saling foto hehe. Akhirnya malah tambah punya relasi deh. hehe

2 komentar dari Era Christianti dan lainnya

Gulungan awan saat sunrise musim kemarau di Sumbing. Ini asli no filter.

Merapi dari Merbabu

Sumbing dari Sindoro

Gambar gunung di label *qua alias Sumbing Sindoro, Kembang dari Prau

Ranu Kumbolo

Semeru

Saya ga hafal. Yang jelas ini pemandangan sunrise saat summit mahameru.

Punggungan naga gunung Bismo.

Kawah mati bernama Bima Pengkok dan Sindoro dari Kembang alias 'anaknya' Sindoro

Sindoro anaknya yang di sebelah kiri bernama Kembang dari Sumbing beserta awan topi alias lentricular yang tak disukasi pendaki

Sunset Pantai Menganti

Jajaran kapal nelayan di Pantai Pasir

Tempe mendoan di pinggir pantai….


Candi Tebing Tegallinggah, Gianyar

Pada akhir tahun 2018, saya menghabiskan liburan akhir tahun ke Bali, Labuan Bajo, dan Makassar. Berhubung saya ini suka mencari tempat bersejarah yang anti-mainstream, saya mencari di google tentang tempat bersejarah di Bali yang jarang dikunjungi oleh orang. Ditengah-tengah pencarian, saya menemukan sebuah candi yang mendapatkan reviews sedikit namun lokasi dan arsitekturnya unik. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengunjungi candi tersebut.

Sesampainya di sana, saya sadar bahwa saya harus jalan melalui anak tangga untuk mencapai lokasi. Waktu itu saya ditemani oleh ibu saya dan tentu saja ibu menolak karena tidak kuat. Akhirnya saya bersama supir memutuskan kesana. Anak tangganya cukup licin jadi saya harus turun dengan hati-hati.

Dinding-dinding candi dipenuhi oleh lumut-lumut & algae dan hanya sedikit orang yang kesana. Tidak ada turis mancanegara yang terlihat pas saya berkunjung ke Candi Tebing Tegallinggah. Mereka yang ada disana adalah orang lokal yang sedang memancing dan main gitar. Selama dicandi, saya harus jalan hati-hati karena permukaanya licin dan dibawah terdapat sungai dengan arus yang deras.

Air yang memancur di candi sangat segar dan supir saya langsung meminumnya. Awalnya saya ragu-ragu untuk minum air tersebut. Namun karena penasaran akhirnya saya lakukan. Benar-benar fresh! Candi Tebing Tegallinggah ini mengingatkan saya kepada petualangan Indiana Jones. Suara-suara yang paling keras yaitu suara arus sungai deras dan disitulah saya merasakan ketenangan.

Tidak ada tiket untuk masuk ke candi tersebut pas saya datang kesana. Namun baru tahun 2019 wisatawan harus bayar tiket untuk mengunjungi Candi Tebing Tegallinggah. [1]

Candi ini diperkirakan dibangun pada masa Raja Sri Aji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 Saka/1025-1049 M). [2]


Desa Tenganan, Karangasem

Tenganan merupakan satu dari 10 Desa Bali Aga yang merupakan tempat destinasi wisata. Pada pertengahan 2018, saya memiliki kesempatan untuk berkunjung ke Desa Bali Aga ini.

Pas saya sampai kesana, suasana desa sepi dan turis-turis yang berkunjung ke sana cuma bule saja. Oh ya Bali Aga sendiri merupakan orang Bali yang masih memegang tradisi asli Bali sebelum gelombang migrasi Hindu dari Jawa ke Bali.

Ini foto-fotonya:


Desa Trunyan, Bangli

Pemandangan Desa Trunyan

Kalau dilihat sekilas, Desa Trunyan itu tidak jauh berbeda dari desa-desa di Bali pada umumnya. Mengingat desa ini dihuni oleh Bali Aga, desa ini menyimpan tradisi yang unik yaitu prosesi pemakamannya.

Tidak seperti pemakaman pada umumnya (Ngaben), penduduk Desa Trunyan menyimpan mayat di ancak saji dan mayat dibiarkan membusuk hingga tersisa tengkorak saja. [3]

Koleksi Tengkorak.

Pohon Taru Menyan. Pohon ini berfungsi untuk menetralisasi bau busuk di kuburan.

Tadi saya sudah menjelaskan tentang Makam Desa Trunyan sekarang saya akan menceritakan pengalaman saya pribadi:

Jadi pada pertengahan 2019, saya yang suka berkunjung ke tempat yang aneh-aneh memutuskan untuk pergi ke Desa Trunyan karena penasaran dengan makam disana. Sebelumnya, saya sudah mendengar bahwa di Trunyan itu banyak preman-preman nakal dan ibu saya bilang mending tidak usah ke Trunyan. Setelah beberapa bujukan, akhirnya ibu mengiyakan. Nah pas menjelang sampai ke Desa Trunyan jalannya itu masih belum beraspal.

Sesampainya disana, banyak sekali pengemis-pengemis di Desa Trunyan. Untuk ke lokasi (makam), saya harus menyewa perahu sekitar Rp600.000 (saya agak lupa harga persisnya). Pas disana kebanyakan sih turis bule sedangkan turis Indonesianya tidak banyak. Ternyata pas sampai disana makamnya tidak terlalu besar. Saya asyik keliling makam sedangkan ibu saya menjadi penerjemah dadakan buat turis bule.

Di sana banyak koin-koin yang berserakan di tanah dan saya langsung ambil buat dibawa pulang. Eh, sama tour guidenya ditegur dan disuruh mengembalikan koin ketempat semula karena nasib buruk akan menimpa saya. Akhirnya demi menghormati adat saya kembalikan lagi.


Sama ada dua tempat di Bali yang anti mainstream yaitu Desa Blimbingsari dan Pura Goa Giri Putri.

Salah satu ruas jalan di Desa Blimbingsari.

Desa Blimbingsari adalah satu-satunya desa yang mayoritas dihuni oleh umat kristiani dan terkenal dengan kebersihan dan tertata rapih. Saya pernah menulis tentang desa ini disalah satu jawaban saya. Jawaban Naufaldi Anindya Pratama untuk Di mana desa paling menarik yang pernah kamu kunjungi?

Pura Goa Giri Putri

Nah untuk pura ini tergolong unik karena lokasinya di dalam gua. Bisa dibaca di jawaban saya Jawaban Naufaldi Anindya Pratama untuk Pernahkah kamu mengunjungi tempat ibadah agama lain?.


Cerita tadi berdasarkan pengalaman pribadi saya. Memang saya sendiri mengakui kalau saya itu suka berkunjung ke tempat yang orang-orang jarang datangi. Tidak hanya di Bali saja, bahkan di Jakarta pun. Karena bagi saya berkunjung ke tempat tersebut merupakan travelling yang sebenarnya. Tempat-tempat wisata yang anti mainstream biasanya sepi dan disitulah saya bisa melakukan pengamatan yang lebih mendalam tentang lingkungan sekitar. Tidak hanya dilokasi, bahkan diperjalanan pun saya bisa melakukan hal yang sama.

Terakhir saya ke Bali yaitu pada bulan Agustus 2020 dan menghabiskan waktu hampir sebulan. Kebetulan ayah ditempatkan disana dan sekarang sudah balik ke Jakarta. Walaupun begitu, sering ada keinginan untuk berkunjung ke Bali lagi. Semoga saja setelah pandemi ini berakhir, saya bisa kesana lagi.

Catatan Kaki


Yang ditanya hanya duka saja nih? tidak suka nya juga? hehehehe..

Dukanya adalah: tidak ada teman ngobrol, susah untuk foto karena tidak ada yang bisa memfotokan, tidak ada yang bisa diajak untuk sharing cost penginapan, transportasi, makan, tempat wisata, dll. Namun solo travelling wajib dicoba untuk belajar bertanggungjawab terhadap diri sendiri.

No comments:

Post a Comment