Search This Blog

Wednesday, July 17, 2013

Jakarta Florida

http://imambachtiar.wordpress.com/2009/12/05/perjalanan-jakarta-florida/

Saya sudah tidak mencatat waktu mendarat di bandara Dallas. Kami semua penumpang bergegas pindah ke terminal lain. 

Saya harus menuju terminal D30, dimana pesawat American Airline yang lain akan menuju ke bandara Tampa Florida. 

Saya mengikuti petunjuk arah terminal D30. Untuk menuju ke sana kami harus naik kereta antar terminal. Sekitar 3-4 menit di dalam kereta kami sudah sampai di terminal D. Saya segera mencari ruang tunggu D30. Setelah ketemu ruang tunggu yang masih kosong, saya mencari tempat makan yang sudah saya rindukan. Ternyata di DFW tidak seperti di bandara Goerge Walker Bush (GWB), Houston. Walaupun kedua bandara besar ini ada di Texas State tetapi penjual makanannya berbeda. Tidak ada Indian curry di sini. Saya akhirnya membeli sebuah donat, sebuah baggle, dan segelas the. Harganya empat dollar. Terasa jauh lebih murah daripada bandara Hongkong. Di dekat kios makanan ada computer yang disediakan untuk internet gratis. Di sini tidak tersedia wi-fi hot spot.
Setelah perut terasa kenyang saya kembali ke ruang tunggu dan merebahkan diri di lantai, agar badan lebih rileks. Ternyata cara udik saya diikuti seorang gadis yang tidur di lantai di sebelah saya. Tampaknya dia tadi sudah mencoba tidur di kursi tetapi tidak bisa. Ia memilih tidur di sebelah saya mungkin jika ia sendirian di sebelah sana malu dengan penumpang lainnya. Syukur ada teman tidur di bandara.
Saya juga tidak mencatat penerbangan yang keempat ini menuju ke Tampa. Tampa adalah sebuah kota wisata di Florida. Di sebelah utara Tampa ada World Dieney land di kota Orlando. Di sebelah selatan Tampa meruapakan taman nasional yang sangat besar Everglades National Park. Kota tujuan saya, St Petersburg, terletak di sebelah barat dari Tampa menyeberangi jembatan sungai atau teluk kecil. Di dalam perjalanan ini baru saya tahu bahwa di dalam pesawat disediakan wi-fi hot spot yang boleh digunakan ketika pesawat sudah mengudara. Penggunaan internet dihentikan ketika pesawat dalam persiapan take-off atau landing. Saya mencoba tidur sepanjang perjalanan tetapi tidak juga dapat terpejam, hingga mendarat di Tampa International Airport pukul 11:00.

Setelah mengambil bagasi saya keluar bandara, membeli tiket bis shuttle seharga 25 dollar. Bis shuttle yang datang ternyata telah punya lima penumpang cewek semua. Mereka hanya say hello ketika saya masuk bis, kemudian sibuk mengobrol tentang lomba jogging antar mereka sendiri. Saya sampai di rumah apartemen sekitar pukul 12:00 siang. Patricia tampaknya sengaja menunggu kedatangan saya. Mestinya dia punya jadwal kerja siang ini. Di depan rumah ia menjemput kedatangan saya, dan langsung membawa saya ke rumah di belakang rumah induk yang ditempatinya. Rumah di belakang lebih mirp bungalow daripada apartemen. Lantai bawah ada living room ukuran 3×7 meter. Disampingnya berhubungan dengan kamar mandi ukuran 2×5 meter. Di atas living room ada kamar tidur untuk saya yang bersisi sebuah ranjang dan sebuah meja kerja. Di depan kamar tidur terhubung dengan beranda lantai dua ukuran 2×4 meter. Di dalam living room ada dapur kecil dengan oven dan microwave saja. Tidak ada kompor. Jika ingin mengunakan kompor ada di taman di sebelah kolam renang. Apartemen saya memang mirip bungalow dengan taman yang indah. Disamping kolam renang selain ada fasilitas barbeque juga ada jacuzi dengan air hangat. Saya langsung bayar kontrak bungalow 1000 dollar untuk dua bulan. Setelah shalat Dhuhur dan asahar dijjamak qasar saya langsung tidur. Badan sudah letih dan penat semua.
Bangun pukul 19:00 perut terasa lapar. Setelah shalat Maghrib dan isya say berjalan ke 4 St S (fourth street south) yang merupakan jalan terbesar di sekitar rumah. Saya berjalan menuju kea rah kota mengikuti intuisi. Saya menemukan sebuah ‘food store’. Di sini saya hanya mendapatkan sebuah daging kaleng, sebungkus beras isi satu kilogram, dan sebungkus telur isi 12 biji. Saya melihat tanda McDonald dan pergi ke sana untuk membeli burger. Pulang dari McDonald saya pilih jalan yang melewati taman yang sudah pernah saya lihat di Google. Ketika di taman, ada seorang pemuda kulit hitam melewati saya dengan sebuah sepeda. Ia berhenti dan turun dari sepeda menanti saya. Ternyata ia minta uang yang katanya untuk makan. Saya lihat tampangnya memang butuh makan. Saya yang tadinya mau member satu dolar jadi memberinya dua dollar. Malam pertama di kota ini saya sudah punya pengalaman yang ‘menakjubkan’. Di negara yang sangat maju dan makmur ini masih ada penduduknya yang kesulitan mendapat makanan.
(St Pete, 3 Desember 2009; Imam Bachtiar)

Sebelumnya;

PERJALANAN 

JAKARTA FLORIDA

DE
 
 
 
 
 
 
Rate This

Perjalanan ke Florida kali ini adalah perjalanan yang berbeda dari dua perjalanan saya ke negeri Paman Sam sebelumnya. Kali ini saya hanya punya satu tujuan yaitu ingin memiliki kontribusi yang agak besar pada perkembangan ilmu pengetahuan. Jika penelitian saya dapat diperbaiki di Florida, insya Allah saya akan bangga mewakili umat Islam dan orang Indonesia memberikan kontribusi yang bagus pada ilmu ekologi terumbu karang. Saya sudah tidak punya alasan lain untuk melakukan perjalanan yang sangat panjang ini selain untuk berkompetisi dalam memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan (sains). Semua peneliti ingin namanya tercatat dalam sejarah sains, dan kontribusi peneliti dalam sains adalah jejak kehadiran peneliti di bumi, dan juga amal jariah.
Orang bisa menggunakan perjalanan jauh untuk mempelajari sains, tetapi orang juga dapat menggunakan sains untuk bepergian jauh. Saya sudah pernah melakukan keduanya. Pada perjalanan pertama, Oktober 1999, tujuan utama saya adalah ingin menikmati salju dan menjejakkan kaki di tanah Amerika. Sedangkan urusan kursus atauyang lainnya menjadi tujuan kedua. Perjalanan saya yang kedua ke negeri ini, Juli 2008, adalah untuk melihat perkembangan terakhir dari ilmu ekologi terumbu karang. Presentasi poster hanyalah sebagai sarana untuk mendapatkan dana ke sana. Walaupun dalam ketiga perjalanan tersebut saya mengunjungi tiga kota yang berbeda, tetapi pada dasarnya negeri ini hampir sama saja di semua wilayah. Kesimpulan ini saya dapatkan setelah tinggal di Ithaca (Cornell University) di New York State yang merupakan wilayah paling utara, dan Fort Lauderdale (Nova Scotia Southern University) di Florida yang merupakan wilayah paling selatan USA. Di kedua kota tersebut saya tinggal selama dua minggu. Sekarang ini saya menuju kota Saint Petersburg (St Pete) di Florida untuk kunjungan selama dua bulan lebih.
Dibandingkan dengan jadwal perjalanan sebelumnya, maka jadwal perjalanan kali ini sangat baik. Dibutuhkan hanya sekitar 22 jam di dalam pesawat untuk sampai ke kota tujuan, dengan transit sekitar 9 jam. Dari Bandara Sukarno Hatta saya di dalam pesawat Boeing 777 300R dari Cathay Pasific terbang pukul 14:30 wib hari Kamis 19 Nopember 2009, Sekitar empat setengah jam berikutnya sudah mendarat di Hongkong. Bandara Hongkong merupakan bandara yang besar dan mahal. Saya membeli sebotol air minum kemasan 600 ml harganya 3 dollar Amerika. Barang-barang elektronik dutyfree juga termasuk mahal. Di sini akses internet gratis melalui wi-fi hot spot. Saya sudah mempersiapkan diri dengan bekal roti sobek dari Bogor, sehingga tidak membeli makanan lagi di sini. Tahun yang lalu saya membeli mie rebus pakai daging sapi di sini dan harus membayar 20 dollar.
Setelah transit selama tiga jam, Kami boarding lagi pada pukul 00:15. Karena pesawat mengalami gangguan teknis, pilot bilang kami belum bisa terbang sebelum gangguan teknis diperbaiki sesuai dengan peraturan yang ada. Sekitar satu jam kami menunggu perbaikan tersebut sambil tetap duduk di dalam cabin, dan selama itu kapten pilot pesawat tiga kali memberikan penjelasan tentang apa yang sedang terjadi. Pramugari menyediakan minuman dan kacang goring. Kami mulai terbang sekitar pukul 01:20 dini hari, Jum’at, 20 Nopember 2009.
Dari Hongkong menuju Los Angeles merupakan penerbangan yang paling panjang dalam rute penerbangan internasional. Jaman dulu setiap penerbangan mengarungi Samudra Pasific ini membutuhkan singgah di Hawaii. Dengan teknologi penerbangan yang sudah sangat maju, hampir semua maskapai sudah menyediakan terbang langsung tanpa lewat Hawaii. Sekitar 12:30 jam kami harus tinggal di pesawat dan tidak ada pilihan lain. Memang disediakan banyak hiburan di dalam pesawat. Banyak video dan acara TV yang bisa kita pilih sendiri menunya, karena TV-nya ada di setiap jok penumpang. Saya memilih membaca buku yang sudah saya siapkan sebelumnya. Sebuah novel karya Achmad Tohari yang berjudul “Ronggeng Dukuh Paruk”, sebuah novel yang sangat baik tetapi sebaiknya hanya dibaca orang dewasa. Dalam perjalanan ke Fort Lauderdale yang lalu saya membaca novel Ayat-ayat Cinta. Bagi saya, perjalanan di pesawat yang sangat lama tidak cukup dengan menonton TV dan Video.
Dalam penerbangan kali ini saya mencoba mengikuti dengan seksama perubahan waktu shalat. Saya sudah shalat Isya di Hongkong, maka saya harus segera shalat Subuh di pesawat, karena perjalanan ke timur akan mempercepat waktu shalat. Saya shalat Subuh sekitar pukul 03:00 waktu Hongkong. Pada TV monitor tidak ada penjelasan waktu setempat (local) sehingga kita hanya bisa memperkirakan sekedarnya saja. Dalam perjalanan lintass Pasific ini, pesawat melalui Garis Penanggalan Internasional sehingga mengalami perubahan hari. Pesawat yang bergerak ke timur, seperti yang kami lakukan, mengalami pengurangan satu hari menjadi hari Kamis kembali, tanggal 19 Nopember 2009. Saya kembali shalat Dzuhur dan Asyar dijamak qasar sekitar pukul 10:00 waktu Honggkong. Saya tidak menghitungnya dengan cermat, tetapi lebih menggunakan intuisi belaka. Jadi habis shalat Subuh hari Jum’at, saya shalat Dzuhur dan Ashar hari Kamis. Memang ini hari yang aneh.
Ketika pesawat mulai turun, di sinilah waktu shalat sangat cepat berubah. Pada ketinggian 10 km di atas permukaan laut, matahari masih tampak sangat terang seperti waktu Dhuhur. Kemudian ketika pesawat mulai turun matahari juga turun dengan sangat cepat menuju waktu seperti Ashar, kemudian matahari tenggelam, dan terus berganti waktu Isya. Dalam satu jam terjadi pergantian waktu dari terang benderang menjadi gelap gulita di luar pesawat. Kami mendarat di bandara Los Angeles, yang mereka sebut World Airport, sekitar pukul 21:00.
Di bandara dunia Los Angeles kami harus melewati pemeriksaan dokumen keimigrasian. Dua formulir harus saya isi, formulir kedatangan dan deklarasi barang bawaan. Saya memberikan deklarasi membawa produk dari tanaman berupa barang kerajinan topeng untuk souvenir. Di sini antrian memang selalu panjang. Ketika sedang mengisi dokumen imigrasi, saya harus keluar dari antrian karena harus melihat alamat tujuan dan nomor telepon professor saya di dalam komputer notebook. Antri yang kedua saya secara kebetulan bersama dengan tiga pemuda Indonesia yang akan bekerja di kapal pesiar di Miami.
Ketika saya diperiksa, ternyata saya mendapat masalah. Saya tidak mampu meyakinkan tujuan kedatangan saya kepada petugas imigrasi. Petugas kemudian meminta dokumen DS2019, dan sayangnya saya tidak dapat menunjukkannya. Dokumen itu saya bawa di dalam koper bagasi. Saya akhirnya dimasukkan ke dalam ruang khusus dan ditangani oleh petugas imigrasi lain bernama Jung, keturunan Korea. Karena dokumen DS2019 ada di dalam bagasi maka ia minta bantuan seorang petugas wanita untuk mengambil bagasi saya. Si wanita keturunan China ini pada awalnya menyangka saya mendapat masalah karena tidak bisa berbahasa Inggris. Wanita yang berusia tiga puluhan itu berbicara banyak kepada saya dengan bahasa China mencoba untuk membantu. Si Officer Jung hhanya tersenyum dan berkomentar: “There is no use you speak to him. He is Indonesian he can’t understand you”. Sambil tersenyum pahit ia keluar mencari bagasi saya. Saya hanya duduk menunggu di dalam kantor tersebut dan tidak boleh keluar ruangan.
Saya melihat ketiga pemuda Indonesia yang antri bersama saya tampaknya juga ada masalah keimigrasian. Mereka dikumpulkan bersama belasan pemuda lain seusia mereka di suatu tempat. Terlihat ada seorang petugas imigrasi berkulit hitam yang berbicara agak marah-marah kepada mereka. Saya tidak tahu persis apa yang sedang terjadi. Jarak kantornya petugas Jung dengan tempat meraka dikumpulkan sekitar 20 meter.
Setelah petugas wanita membawa bagasi saya. Dengan cepat saku koper saya buka dan saya tunjukkan dokumen DS2019 kepada petugas Jung. Dalam dua menit saya sudah keluar dari ruangan tersebut menuju antrian pemeriksaan barang. Saya menyatakan membawa produk tanaman. Ketika saya menjelaskan apa yang saya bawa tampaknya bahasa Inggris saya membingungkan mereka. “So you don’t bring any other thing than bread? Saya berpikir sejenak sebelum bilang “Yes Sir”, dan saya dipersilahkan lewat begitu saja. Bagasi harus saya serahkan lagi dalam perjalanan keluar bangunan bandara. Saya harus keluar dari bangunan bandara karena berpindah ke bandara domestic. Letaknya tidak jauh antara pintu keluar dengan terminal American Airline. Saya hanya berjalan sekitar 10 menit.
Seorang petugas memberitahu saya bahwa American Airline ada di lantai atas, masuknya lewat dalam, di dekat escalator. Saya masuk lift bersama seorang pemuda Filipina. Ketika mau keluar lift bertemu dengan seorang wanita Filipina yang mengajak pemuda tersebut turun lagi. Sayapun mengikuti mereka yang masih terus ngomong bahasa Tagalog. Karena saya ragu mereka akan satu tujuan dengan saya saya kembali lagi ke lantai atas, dan kemudian menemukan tempat mengantri pemeriksaan sebelum ke ruang tunggu. Melihat antrain yang panjang saya memutuskan untuk ambil boarding pass penerbangan berikutnya. Di terminal ini boarding pass dibuat secara swalayan dengan computer yang banyak tersedia di sini. Seorang petugas wanita kulit hitam membantu saya menggunakan mesin boarding pass swalayan.
Antrian masuk pemeriksaan masih panjang, saya mendapat urutan kesepuluh. Di sini barang bawaan yang berupa cairan dan barang elektronik harus dikeluarkan dari tas. Sepatu dan jaket dibuka, ikat celana juga harus dibuka. Untung penerbangan berikutnya masih panjang, pukul 01:30. Proses pemeriksaan yang lama akan memberikan stress tinggi jika jadwal penerbangan kita sangat ketat. Ketiga pemuda Indonesia yang ketemu saya akan terbang lagi pukul 11:00. Semoga mereka dapat mengejar pesawat berikutnya.
Di terminal American Airline saya shalat Maghrib dan Isya dijamak qasar, untuk hari Kamis 19 Nopember 2009. Saya yakin di negeri sekuler ini tidak aka nada mushalla di bandara, walaupun saya belum pernah menanyakannya pada siapapun. Saat itu di ruang tunggu ada sekitar 20 orang. Saya mencari tempat yang agak ke pojok dan memperkirakan arah kiblat sesuai perasaan. Saya rasanya membawa kompas tetapi ketika dicari di dalam ransel tidak ketemu. Setelah shalat saya makan roti yang dibawa dari Bogor. Dari pengalaman sebelumnya saya sudah mengantisipasi bahwa di tengah malam Los Angeles biasanya sudah lapar lagi. Membeli makanan di tengah malam memang ada tetapi harganya mahal dan tidak sesuai dengan selera. Saya berharap di bandara berikutnya, Dallas Fair Water (DFW) Airport, akan menemukan kedai Indian Curry. Saya sering merindukan kare kambing India yang lembut dan lezat. Ketika menunggu pesawat ke DFW, ada pengumuman bahwa jika ada penumpang yang mau menunda keberangkatannya menjadi pukul 08:00 pagi akan diberikan kamar hotel dan uang gantirugi 300 dollar. Sebuah tawaran yang menarik karena badan sudah tersa capek dan mengantuk, tetapi saya tidak menginginkannya.
Perjalanan dari Los Angeles menuju Dallas membutuhkan waktu sekitar 3:30 jam. Pesawat berangkat tepat waktu pada pukul 01:30 hari Jumat dini hari. Saya ingin sekali dapat tidur di pesawat, ruang cabin pesawat juga dibuat gelap, tetapi saya tidak dapat tidur. Mungkin badan saya terlalu capek, mungkin juga terkena jet-lag, karena waktu di Indonesia masih siang. Saya akhirnya membaca novel tentang ‘Srintil’ si Ronggeng Dukuh Paruk. Saya shalat Subuh di dalam pesawat.

No comments:

Post a Comment