*Peregangan dulu soalnya jawaban panjang nih, apalagi soal isu Komodo*
Masalahnya begini…
Potensi satu daerah itu (dalam hal semua sektor ekonomi tersier/jasa, bukan hanya pariwisata) itu bisa naik, bisa juga turun seiring waktu. Bisa diciptakan atau malah hancur.
Dokumentasi pribadi
Jadinya saya ga akan bahas soal potensi, tetapi soal:
- Feasibility (aktivitas turisme apa yang manfaat ekonominya lebih besar dari biaya yang dibutuhkan), dan
- Segmentasi (pasar turisme mana yang harus ditarget untuk memaksimalkan potensi)
Karena 2 hal inilah yang bisa menentukan apakah potensi tersimpan yang belum terpikirkan di satu daerah bisa jadi viral, atau pengembangan potensi yang ada salah sasaran dan malah jadinya pembangunan pariwisatanya menghancurkan, bukannya memaksimalkan, potensi yang ada.
Nah saya akan pakai contoh kasus dari foto diatas saja deh, sambil cerita sedikit roadtrip/perjalanan akhir tahun kemarin.
Foto pertama berenang di antara terumbu karang itu saya ambil akhir tahun 2020 kemarin, di daerah yang saya lingkari di peta diatas - namanya Pahawang di Lampung.
Pahawang ini contoh bagus dari kelompok warga yang mengetahui feasibility dan segmentasi pasar yang ada - sehingga potensi mereka bisa dimaksimalkan. Detilnya gimana?
- Feasibility: Kelompok warga & investor lokal sekitar tahu jelas - Pahawang sangat tidak feasible (ga masuk biayanya) kalau mau dijadikan semacam Bali baru. Siapa pula bule yang mau atau ada hajat ke Lampung? Paling kalau nyasar atau iseng. Siapa pula orang Jakarta yang mau kesana 1 minggu? Kelamaan. Jadi mereka cari yang lebih feasible saja, membuat Pahawang jadi destinasi weekend/akhir pekan, atau day-trip (jalan-jalan sehari saja). Sekedar berenang di terumbu karang, foto-foto cantik buat IG, makan di pinggir pantai, naik ke bagan nelayan… Kalau pun mau menginap, ya losmen pantai saja. Memang ga ada yang "wah" banget (tapi karena bersih, teratur, ga seperti kebanyakan tempat lain yang saya pernah datangi, saya acung jempol)
- Segmentasi: Nah setelah mereka tahu aktivitas/wahana/infrastruktur yang feasible , harus cari segmen pasar yang tepat juga. Karena Pahawang ini pulau, bukan di pinggir pantai Lampung/Sumatranya, mereka tahu ga mungkin sekedar remaja pacaran/nongkrong sabtu sore naik motor bebek jadi pasar utama mereka. Pasar utamanya tentu saja keluarga, kelas/sekolah atau kantor dari Bandar Lampung dskt yang mau outing. Karena itu mereka buat paket 1 kapal nelayan 1 hari.
Dari situ mulai bisa deh potensinya dikembangkan, lalu ketika Tol Bakauheni-Palembang sudah jadi & feri ekspres Merak-Bakauheni sudah ada, mulai berdatangan juga orang-orang dari Palembang & Jakarta. Itu potensi terbuka karena perkembangan infrastruktur. Acung jempol deh.
(Nah, ini contoh bagaimana potensi berubah2, dalam hal ini positif, yang tadinya pasarnya hanya orang Lampung, tiba-tiba jadi ada org Palembang & Jakarta juga - ini bukti potensi itu bisa berubah karena faktor eksternal - apakah orang desa bisa memprediksi atau menuntut hal seperti Tol Transsumatra Bagian Selatan? Ya kan enggak. Makanya saya gak fokus bahas potensi! Saya bahas implementasi berdasar feasibility & segmentasi itu)
Oke, itu contoh keren. Dan yang seperti ini banyak terjadi kok juga di tempat lain. Tapi Kalau contoh buruknya, yang malah merusak potensi, kaya gimana?
Bali Selatan sebenarnya salah satu contohnya. Tapi saya ga bisa bilang "merusak potensi banget" juga, karena potensinya cuman berubah saja - pasarnya berubah. Kalau yang mau lebih tenang seperti Bali dulu kala bisa ke Bali Utara atau Bali Timur, masih bisa.
Yang saya khawatir sekarang merusak potensi sih yang satu ini - yang saya gak habis pikir kok bisa lolos rencana macam kayak gini di pemerintahan era sekarang.
Yes, Komodo! Gue tau desainnya keren, modern, aman - but that's not the point! Serius, malah kemungkinan besar merusak potensi - apa lagi kalau mau beneran dijadikan destinasi high-end / luxury travel!
Loh kok gitu? Lah iya, wong saya tahu kok dari pengalaman di Eropa & Amerika orang-orang sana yang memang beneran sanggup luxury travel (jalan-jalannya wong sugih/Sultan) itu seleranya yang kayak gimana. Temen saya punya kok salah satu dari ini
Ski lodge di Swiss (bukan punya temen saya fotonya). Tampaknya rumah tua biasa, sangat tidak mengganggu/mengubah daerah sekitar. Salju menumpuk? Selama tidak ganggu jalan mobil ya dibiarkan saja. Memang namanya juga di gunung dan tempat musim dingin kok.
Asalkan dalemnya… kayak begini
Dari luar tampak tua, asri, dalemnya langsung ketahuan ini memang punya Sultan.
Kalau mau versi tropisnya, yuk kita intip sebentar Bora-bora (Polinesia Perancis, Kepulauan di Samudera Pasifik)
Gubuk/villa kaya begitu di Bora-Bora itu justru St. Regis, Four Seasons… Justru hotel-hotel internasional loh!
Mungkin aneh, tapi lagi-lagi, didalemnya kayak gimana dulu itu gubuk…
Nah loh, dalem gubuk kaya gitu isinya ada pool/kolam renang sendiri, pake panel surya sendiri buat listriknya. Langsung nyemplung ke laut pula, seger bener.
Gitu loh, selera orang luar (terutama barat, entah ya kalau Asia tapi yang saya tahu kenalan Jepang & Singapura saya juga masih sama modelnya) yang bener bisa luxury travel maunya justru yang penting 3 ini:
- Akses ke destinasi tersebut mudah (akses kesana, bukan akses disananya seperti apa) karena poin ke-2
- Destinasinya sesedikit mungkin diubah alamnya. Malah ingin merasakan "alam asli" daerah tersebut! Bukan dikasih tulisan kayak Hollywood buat di masukin IG atau pendopo/galeri besar modern, gak laku!
- Begitu balik ke penginapan, semua kekerenan kehidupan Sultan mereka tetep ada dan terjangkau dari tempat tidur. Tidak perlu mewah gede-gede semua, yang penting apa-apa mudah dijangkau (kolam renang, spa, bar, supir)
Itu aja yang penting mah kalau orang Eropa/Amerika/Australia mau beneran luxury travel ke daerah-daerah alam eksotis nan jauh bagi mereka.
Karena kalau mau ke tempat/habitat yang dipercantik, ya mereka ngapain jauh2 ke Komodo atau Bora-bora gitu, ke Singapur atau Dubai jadi bos!
Tuh, bahkan ga usah keluar Airport pun kalau di Singapur bisa ketemu yang modern kekinian begini.
Mereka tahu setiap tempat itu ada "worthy moment" (momen pas) nya, tidak dipaksakan. Saya saja sudah denger beberapa kali dari temen saya yang memang orang kaya lama Perancis, Dubai menurut dia "surreal" - kok bisa tempatnya padang pasir di mall nya ada ice skate segala, terus bikin mall terbesar pula. Males mereka ngelihatnya, dan berasa aneh.
Kalau yang luxury travel terus pengennya apa-apa dipercantik dimanapun juga dan masih berasa "wah bingits" buat mereka… sepengalaman saya cuman ada 4 demografi yang suka: Arab, Chinese mainland (RRT), Rusia dan OKB stereotipikal Indonesia (bukan semua OKB ya)
*Atau memang karena target pasarnya yang diatas itu semua? Hehe. Bukan maksud ofensif ya, cuman berdasarkan pengamatan pribadi ya. Kalau ada yang berbeda monggo di komen.*
Dan kenapa saya bilang perkembangan Komodo (Jurassic Park + konsep resort-resort sekitarnya) merusak pasar, meresahkan bund…
…Karena nanti yang merasa tidak masuk pasar luxury yang baru ini, ga bakal bisa diserap sama tempat sekitar. Orang kantoran Jakarta biasa nabung terus setengah minggu/4–5 hari ke Labuan Bajo demi ke Komodo, ga bakal bisa disuruh "cobain deh ke Kelimutu/Wae Rebo/Ende/Sumba". Budget ga nyampe, waktu ga cukup. Ujung-ujungnya lari ke Bali-Lombok-Banyuwangi lagi.
Kalau di Bali, Bali Utara, Timur, Banyuwangi bahkan Lombok pun siap menampung yang males dengan Kuta dan kawan-kawan Selatannya.
Jadi ya begitulah… Bagaimana potensi bisa bertambah, atau malah dirusak. Bahkan dalam kasus Indonesia sekarang ini padahal pemerintahnya sama, fokusnya dalam infrastruktur juga sama. Tapi yang satu Alhamdulillah membuka pasar, yang satu eeeeh potensi membunuh.
Tapi lagi-lagi semuanya kembali ke kelihaian investor & warga sekitar untuk mencari wahana/atraksi yang feasible dan segmentasi pasarnya juga masuk. Yang sebenarnya intinya itu kembali kepada dua nasehat yang bisa diterapkan di bisnis apapun…
- Kenali modalmu, sumberdayamu sendiri (feasibility)
- Kenali pelangganmu (segmentasi)
Dan ketika warga sekitar Pahawang berhasil mengenali sumberdaya & pelanggannya sendiri… Entah kenapa, yang bagi-bagi proyek Komodo sekarang kok agak gimanaaa gitu. Niat segmentasinya gagal paham.
Gitulah mbak Seprianita Randabunga