be well,
Dwika
Paspor Mahasiswa Pas-Pasan
"Tak mungkin keluar negeri, saya
mahasiswa pas-pasan," itulah yang terbesit di benakku saat melihat
foto-foto pemandangan luar negeri. Namun satu tulisan berjudul Paspor
mengubah segalanya. Enam bulan kemudian, ternyata saya bisa menjejakkan
kaki di negara lain.
Setiap kali melihat pemandangan
luar negeri, saya trenyuh. Bagiku itu sebuah negeri nan jauh disana. Ada
suatu keinginan kuat untuk menjejakkan kaki di negara lain. Namun
keinginan itu harus ditumpuk oleh kenyataan. Saya bukan anak orang kaya.
Saya bukan anak genius yang mengikuti lomba keluar negeri. Saya tidak
memiliki keahlian khusus seperti menyanyi. Bahkan saya bukan pula bagian
dari jurusan yang mencanangkan studi ekskursi keluar negeri. Saya hanya
memiliki niat yang terpendam.
Niat itu semakin kuat saat saya
membaca tulisan dari Rhenald Kasali berjudul Paspor. Profesi sampingan
saya sebagai jurnalis kampus juga mengharuskan saya bertemu dengan
orang-orang sukses di ITS. Saya bertemu dengan tim Spektronics yang
berlomba di Jerman. Di minggu yang sama, saya bertemu dengan mahasiswa
yang mengikuti lomba di Inggris. Ada lagi mahasiswa yang mengikuti
pertukaran pelajar ke Singapore dan juga tim paduan suara yang akan
terbang ke Prancis dan Italia. "Apa-apaan ini?Dalam rentang waktu yang
berdekatan saya dikelilingi orang berbau luar negeri," pikirku. Saat itu
juga kuputuskan bahwa saya harus backpacker keluar negeri saat masih
mahasiswa.
"Ah nanti sajalah keluar
negerinya, saat sudah bekerja," kebanyakan mahasiswa berpikir seperti
itu. Tapi apa hebatnya keluar negeri saat sudah bekerja dengan uang
melimpah? Keluar negeri menjadi hebat justru karena perjuangan untuk
mendapatkannya lebih sulit. Uang? Itu soal belakang. Yakinlah dimana ada
kemauan, disana ada jalan. Bukan dengan jalan meminta uang orang tua.
Kita mahasiswa bukan pengemis elit. Mahasiswa selalu punya cara untuk
mencari uang misalnya dengan cara klasik seperti memberi les privat atau
cara kreatif dengan berbisnis. Bukan pula dengan memanfaatkan uang
beasiswa. Apa bedanya kita dengan Gayus? Pencuri uang negara untuk
jalan-jalan keluar negeri.
Mungkin orang lain melihat bahwa
keluar negeri hanyalah kegiatan tersier yang menghambur-hamburkan uang.
Namun menurut saya jika pengalaman dan ilmu merupakan kebutuhan primer,
maka keluar negeri termasuk didalamnya. Saya memilih Malaysia dan
Singapore sebagai tujuan awal karena saya pikir dua negara ini akan
membuka gerbang ke negara lainnya. Disana saya menemukan berbagai ilmu
dan pengalaman baru. Saya mempelajari bagaimana budaya yang unik di dua
negara tersebut. Bagaimana sistem transportasinya. Bagaimana
berkomunikasi dengan orang lain. Bagaimana ilmu keteknikan bisa
mempengaruhi kehidupan sehari-hari di negara lain. Sampai bagaimana cara
untuk memberhentikan mobil di jalan tol saat bis yang kita tumpangi
mogok. Semua pengalaman dan ilmu yang saya dapat sepanjang perjalanan
seminggu itu takkan pernah ada di bangku kuliah.
Sedikit cerita lain tentang luar
negeri. Rentang seminggu setelah saya memesan tiket pesawat ke Kuala
Lumpur, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti beasiswa Fast Track
Prancis. Ternyata untuk keluar negeri itu sangatlah mudah, tergantung
dari kemauan dan usaha. Ada banyak program magang diluar negeri yang
ditawarkan oleh perusahaan. Ada banyak penawaran beasiswa luar negeri.
Ada banyak program pertukaran pelajar. Ada banyak lomba tingkat
internasional. Atau jika sekarang masih merasa seperti saya dulu yaitu
mahasiswa kemampuan pas-pasan yang meratapi foto-foto luar negeri. Maka,
segera buka internet dan beli tiket pesawat termurah keluar negeri.
Jangan lupa cek kalender akademik untuk memastikan waktu liburan. Lalu
buatlah paspor.
Paspormu sekarang menunggu stempel negara lain.
No comments:
Post a Comment