CATATAN PERJALANAN KE AS (1): KALIFORNIA
by SKH. SWARA KITA on Monday, November 16, 2009 at 11:02pm
Membuat Semuanya Terasa Penting
“Orang Indonesia sangat baik dan ramah, tetapi pemalu. Mungkin karena itu, Indonesia pun malu untuk gencar berpromosi. Padahal promosi itu sangat penting”.
Oleh
Hendra Zoenardjy
SEBUAH sindiran halus disampaikan Behrooz Kamalvandi, Duta Besar Iran untuk Indonesia, yang akan segera mengakhiri tugasnya 21 November 2009 ini. Pernyataan diplomat Timur Tengah yang dekat dengan wartawan ini disampaikannya pekan lalu, seperti yang dikutip dari harian Kompas edisi Jumat (13/11) lalu.
Benarkah orang Indonesia pemalu? Rasanya tidak. Apalagi orang Sulut. Namun, jika kemudian kita dinilai tidak gencar berpromosi, terutama untuk dunia pariwisata kita, sepertinya benar. Bahwa Indonesia—termasuk Sulut—sering mengikuti sejumlah iven promosi wisata, itu memang benar. Tetapi apakah kualitas dan kuantitas promosi itu tepat sasaran, inilah yang masih menjadi tanda tanya besar.
Dan jika Indonesia (dan Sulut) masih terjebak bagaimana mengemas promosi dengan baik, Amerika Serikat (AS) sudah berada dalam tataran komersialisasi dalam segala hal, termasuk dunia pariwisatanya.
Brand sebagai sebuah negara besar, membuat AS menjadikan segala apa pun yang ada di negaranya itu terasa begitu penting. Kemasan ini sudah terbukti pada perhelatan Piala Dunia 1994 lalu, di mana negeri Uncle Sam ini sukses meraup keuntungan besar. Tak heran jika dalam dunia wisata mereka, banyak tempat kemudian disulap dan diberi kemasan sebagai tempat penting yang harus dikunjungi.
Di Kalifornia, banyak tempat kemudian direferensikan menjadi lokasi yang harus dikunjungi. Mau wisata bahari, ada kawasan Newport Beach yang menawarkan sejuta lokasi. Untuk kawasan pegunungan, ada Yosemite National Park. Mau yang agak eksotik, ada Hearst Castle. Dan tentunya, kawasan Hollywood dengan segala dunia selebritasnya.
Hearst Castle dan Yosemite sempat saya kunjungi. Sebenarnya, kedua tempat ini tak istimewa-istimewa amat. Di Hearst Castle, hanyalah menumpukkan bagaimana sebuah kastil kuno yang megah. Untuk menempel kesan kemewahannya, maka ada studio bioskop yang memutar film doukumenter bintang-bintang Hollywood yang sering berkunjung ke kastil tersebut.
Pemandangan luarannya, terasa ada perpaduan antara pemandangan Danau Tondano dari kawasan Bukit Tampusu, dengan pemandangan perbukitan di daerah Bolmut. Yang satu ada aroma kesejukan yang dekat dengan air, sedangkan yang satu penuh dengan perbukitan yang selalu tandus jika sedang musim kemarau.
Begitu juga Yosemite National Park. Jualan pemandangan bukit berbatu yang dipadu dengan air terjun dan udara dingin khas pegunungan—kalau di Sulut suhunya terasa sama seperti di Modoinding—, sebenarnya tidak terlalu luar biasa. Hanya saja, itulah AS. Mereka bisa membuat semuanya jadi tampak memukau, dengan majemen wisata mereka.
MANAJEMEN
WISATA
Manajemen wisata AS merupakan sebuah kolaborasi interbirokrasi. Tak hanya institusi pariwisata semata yang bekerja sendirian, namun mereka bersinergi dengan institusi lainnya. Seperi Pekerjaan Umum, Kebersihan, Kehutanan, dan beberapa instansi terkait lainnya.
Karenanya, sebuah obyek wisata yang disodorkan menjadi benar-benar mudah dijangkau dan enak dinikmati. Hanya bermodalkan bus saja, para wisatawan sudah bisa nikmati menjelajahi area-area wisata di Kalifornia. Jalanan yang mulus dengan obyek-obyek wisata yang serba terawat, membuat tur menjadi bermakna.
Bagaimana dengan kita di Sulut? Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disparbud) terkesan masih jalan sendirian. Tidak pernah ada inisiatif dari institusi lain untuk mengerjakan proyek untuk pembenahan insfrastruktur pariwisata. Tak heran jika dermaga untuk ke Bunaken dan Siladen hanya bisa berharap dari kucuran dana untuk Disparbud.
Belum lagi koordinasi antara Disparbud Sulut dengan Disparbud di kabupaten/kota yang tak mulus, yang membuat banyak lokasi yang akhirnya terbengkalai. Siapa yang masih bisa melihat kejayaan Pantai Batu Nona di Minut? Atau, masih adakah kisah manis dari Air Terjun Tapahan Telu di Kali Pineleng? Semuanya sudah hancur.
“Harusnya kabupaten/kota yang menjadi ujung tombak, karena merekalah destinasi sebenarnya dari para wisatawan. Kita di provinsi hanyalah memfasilitasi saja,” begitu komentar Boyke Rompas, mantan Kadisparbud Sulut, yang kini sudah berpindah job menjadi Kadis Nakertrans Sulut.
Butuh kebersamaan memang. Melihat AS memenej wisatanya, mungkin terlalu jauh. Tapi, apa salahnya jika kita mulai dari hal yang sederhana dulu; yakni bagaimana menyatukan langkah antara dinas terkait untuk menjaga keberadaan aset wisata kita. Jangan-jangan 10 tahun depan kita hanya akan menikmati cerita, bahwa kita dulu sempat punya Pulau Bunaken dan Selat Lembeh, lokasi wisata bawah laut yang terkenal di dunia, yang sudah tak bisa dinikmati lagi.(bersambung)
“Orang Indonesia sangat baik dan ramah, tetapi pemalu. Mungkin karena itu, Indonesia pun malu untuk gencar berpromosi. Padahal promosi itu sangat penting”.
Oleh
Hendra Zoenardjy
SEBUAH sindiran halus disampaikan Behrooz Kamalvandi, Duta Besar Iran untuk Indonesia, yang akan segera mengakhiri tugasnya 21 November 2009 ini. Pernyataan diplomat Timur Tengah yang dekat dengan wartawan ini disampaikannya pekan lalu, seperti yang dikutip dari harian Kompas edisi Jumat (13/11) lalu.
Benarkah orang Indonesia pemalu? Rasanya tidak. Apalagi orang Sulut. Namun, jika kemudian kita dinilai tidak gencar berpromosi, terutama untuk dunia pariwisata kita, sepertinya benar. Bahwa Indonesia—termasuk Sulut—sering mengikuti sejumlah iven promosi wisata, itu memang benar. Tetapi apakah kualitas dan kuantitas promosi itu tepat sasaran, inilah yang masih menjadi tanda tanya besar.
Dan jika Indonesia (dan Sulut) masih terjebak bagaimana mengemas promosi dengan baik, Amerika Serikat (AS) sudah berada dalam tataran komersialisasi dalam segala hal, termasuk dunia pariwisatanya.
Brand sebagai sebuah negara besar, membuat AS menjadikan segala apa pun yang ada di negaranya itu terasa begitu penting. Kemasan ini sudah terbukti pada perhelatan Piala Dunia 1994 lalu, di mana negeri Uncle Sam ini sukses meraup keuntungan besar. Tak heran jika dalam dunia wisata mereka, banyak tempat kemudian disulap dan diberi kemasan sebagai tempat penting yang harus dikunjungi.
Di Kalifornia, banyak tempat kemudian direferensikan menjadi lokasi yang harus dikunjungi. Mau wisata bahari, ada kawasan Newport Beach yang menawarkan sejuta lokasi. Untuk kawasan pegunungan, ada Yosemite National Park. Mau yang agak eksotik, ada Hearst Castle. Dan tentunya, kawasan Hollywood dengan segala dunia selebritasnya.
Hearst Castle dan Yosemite sempat saya kunjungi. Sebenarnya, kedua tempat ini tak istimewa-istimewa amat. Di Hearst Castle, hanyalah menumpukkan bagaimana sebuah kastil kuno yang megah. Untuk menempel kesan kemewahannya, maka ada studio bioskop yang memutar film doukumenter bintang-bintang Hollywood yang sering berkunjung ke kastil tersebut.
Pemandangan luarannya, terasa ada perpaduan antara pemandangan Danau Tondano dari kawasan Bukit Tampusu, dengan pemandangan perbukitan di daerah Bolmut. Yang satu ada aroma kesejukan yang dekat dengan air, sedangkan yang satu penuh dengan perbukitan yang selalu tandus jika sedang musim kemarau.
Begitu juga Yosemite National Park. Jualan pemandangan bukit berbatu yang dipadu dengan air terjun dan udara dingin khas pegunungan—kalau di Sulut suhunya terasa sama seperti di Modoinding—, sebenarnya tidak terlalu luar biasa. Hanya saja, itulah AS. Mereka bisa membuat semuanya jadi tampak memukau, dengan majemen wisata mereka.
MANAJEMEN
WISATA
Manajemen wisata AS merupakan sebuah kolaborasi interbirokrasi. Tak hanya institusi pariwisata semata yang bekerja sendirian, namun mereka bersinergi dengan institusi lainnya. Seperi Pekerjaan Umum, Kebersihan, Kehutanan, dan beberapa instansi terkait lainnya.
Karenanya, sebuah obyek wisata yang disodorkan menjadi benar-benar mudah dijangkau dan enak dinikmati. Hanya bermodalkan bus saja, para wisatawan sudah bisa nikmati menjelajahi area-area wisata di Kalifornia. Jalanan yang mulus dengan obyek-obyek wisata yang serba terawat, membuat tur menjadi bermakna.
Bagaimana dengan kita di Sulut? Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disparbud) terkesan masih jalan sendirian. Tidak pernah ada inisiatif dari institusi lain untuk mengerjakan proyek untuk pembenahan insfrastruktur pariwisata. Tak heran jika dermaga untuk ke Bunaken dan Siladen hanya bisa berharap dari kucuran dana untuk Disparbud.
Belum lagi koordinasi antara Disparbud Sulut dengan Disparbud di kabupaten/kota yang tak mulus, yang membuat banyak lokasi yang akhirnya terbengkalai. Siapa yang masih bisa melihat kejayaan Pantai Batu Nona di Minut? Atau, masih adakah kisah manis dari Air Terjun Tapahan Telu di Kali Pineleng? Semuanya sudah hancur.
“Harusnya kabupaten/kota yang menjadi ujung tombak, karena merekalah destinasi sebenarnya dari para wisatawan. Kita di provinsi hanyalah memfasilitasi saja,” begitu komentar Boyke Rompas, mantan Kadisparbud Sulut, yang kini sudah berpindah job menjadi Kadis Nakertrans Sulut.
Butuh kebersamaan memang. Melihat AS memenej wisatanya, mungkin terlalu jauh. Tapi, apa salahnya jika kita mulai dari hal yang sederhana dulu; yakni bagaimana menyatukan langkah antara dinas terkait untuk menjaga keberadaan aset wisata kita. Jangan-jangan 10 tahun depan kita hanya akan menikmati cerita, bahwa kita dulu sempat punya Pulau Bunaken dan Selat Lembeh, lokasi wisata bawah laut yang terkenal di dunia, yang sudah tak bisa dinikmati lagi.(bersambung)
No comments:
Post a Comment