Search This Blog

Friday, June 1, 2012

Racun dalam makanan

Kita Sudah Jadi Penimbun Racun?


**kesehatan.kompasiana.com
12931816631171865564
Tulisan ini terinspirasi oleh beberapa pemberitaan baik di surat kabar maupun TV, ditambah dengan hasil pembicaraan dengan beberapa abang-abang penjual gorengan dan bakso.
Bebarapa makanan favorit masyarakat Indonesia ternyata mengandung potensi bahaya racun yang mungkin kita sadari atau tidak. Yang jelas racun-racun tersebut sudah menjelma menjadi beberapa makanan favorit yang sulit kita tinggalkan.
Tahu dan tempe:
  • Tayangan di salah satu TV beberapa waktu lalu memperlihatkan bagaimana beberapa pengrajin rumahan tahu/tempe mencuci kedelai yang telah direbus di Kali Ciliwung yang dari hasil survey mengandung bakteri jahat dan logam berat dalam kadar tinggi. Para pengrajin tersebut mencuci di Kali Ciliwung karena tidak mampu membeli pompa penyedot air tanah serta peralatan lainnya yang harganya sekitar Rp2juta, sehingga untuk gampangnya mereka mencuci di Kali Ciliwung. Bakteri dan logam berat tersebut otomatis akan menempel di kedelai yang telah direbus, dan mengendap disitu sampai menjadi tahu/tempe.
  • Beberapa waktu lalu banyak ditemukan di para penjual tahu bahwa tahu-tahu mereka direndam dulu dalam formalin agar awet. Meskipun sudah ada peringatan dari BPOM, namun sejauh mana pengawasannya, kita tidak tahu lagi.
  • Kalau tahu/tempe tersebut anda masak di rumah maka berarti tempe/tahu hanya terkontaminasi oleh bakteri dan racun.
  • Bila tahu/tempe sampai di tangan pedagang gorengan pinggir jalan, maka cerita berlanjut.
  • Tahu/tempe di tangan pedagang gorengan pinggir jalan akan digoreng dengan sebelumnya dicampur garam dan bumbu penyedap, dimana takaran bumbu penyedap jangan diharap sesuai yang disarankan BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan). Biasanya sangat berlebih. Minyak goreng tersebut biasanya dibeli dari Restoran Cepat Saji dari sisa menggoreng ayam dan kentang. Ini untuk mengejar harga murah. Selanjutnya gorengan tersebut ditiriskan di atas penggorengan yang biasanya disapu angin dari kendaraan yang lalu lalang yang pastinya bercampur debu jalanan. Setelah itu gorengan dibungkus dalam kertas bekas yang dipungut oleh para pemulung di sembarang tempat.
Bakso Kampung:
  • Istilah bakso kampung ini dipakai untuk bakso yang dijajakan oleh para pedagang gerobak dorong
  • Biasanya abang bakso dalam membuat bakso mencampurnya dengan zat pengawet. Bahan yang diijinkan BPOM adalah methyl p-hydroxybenzoate, takarannya maksimal 250 mg/kg. Namun demikian beberapa waktu lalu banyak ditemukan bakso yang dicampur boraks (supaya kenyal) dan formalin (supaya awet) dengan takaran yang beraneka ragam sesuka pengolahnya. Beberapa abang bakso masih menambahkan dengan bumbu penyedap (dari jenis Monosodium Glutamat). Pemakaian pengawet tersebut disebabkan kalau bakso tidak habis terjual hari itu, masih bisa dijajakan besok atau bahkan lusa. Maklum abang bakso tidak punya lemari es. Dalam hal ini sengaja tidak disinggung asal usul dan jenis daging dalam bakso olahan. Anggap saja dari daging sapi yang masih baik kondisinya.
  • Kuah bakso biasanya dicampur dengan rebusan tulang dan lemak sapi. Biasanya juga masih ditambahkan lagi bumbu penyedap.
  • Bakmi tentu juga harus diperhitungkan kalau hari itu tidak habis terjual. Beberapa abang bakso menceritakan bahwa bakmi mereka beli dalam bentuk kering, kemudian mereka rebus. Beberapa abang membelinya dalam olahan setengah matang. Tidak diperoleh informasi apakah yang setengah matang juga dicampur bahan pengawet mengingat abang bakso akan menjualnya lagi esok hari atau lusa bila hari ini tidak habis terjual.
  • Selanjutnya dalam penyajian, abang bakso masih menaruh lagi bumbu penyedap ke dalam kuah bakso tersebut.
  • Setelah siap, biasanya abang bakso menyiapkan kecap manis, kecap asin, cuka, sambal botol dan saos tomat botol. Ingat, di dalam kecap manis, kecap asin, sambal botol dan saos tomat botol tersebut sudah dibubuhi bahan pengawet (biasanya methyl p-hydroxybenzoate dengan batas penggunaan maksimal 250 mg/kg produk) plus bahan pewarna (lihat catatan dibawah mengenai Zat Pewarna yang aman, dan yang dilarang). Masih sering ditemukan dipakainya bahan pewarna tekstil yang sangat beracun yaitu Rhodamin B yang murah meriah sebagai pewarna makanan.
  • Nah, siap sudah makanan bakso kesayangan anda plus berbagai tumpukan bahan pengawet yang berlimpah-limpah (dari bakso, mie, kecap manis, kecap asin, sambal botol dan saos tomat botol), bahan pewarna (yang terdapat pada saos sambal botol dan saos tomat botol), serta berlimpahnya bumbu penyedap (Monosodium Glutamat).
  • BPOM sendiri baru menerbitkan ketentuan tentang mie, dalam hal ini Produk Mie Instan yang terdaftar di Indonesia sesuai Keterangan Pers BPOM No.: HM.04.01.1.23.10.10.9905, Jakarta, 18 Oktober 2010.
Jenis makanan di atas adalah sebagian saja dari yang menjadi favorit masyarakat kita. Masih banyak makanan/minuman favorit lain yang proses produksinya serta bahan-bahan pengawet dan pewarnanya tidak kalah menakutkan dari yang disampaikan di atas.
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mendiskreditkan abang-abang penjual tempe/tahu, gorengan dan bakso. Ini adalah realita di masyarakat kita. Justru ini tantangan bagi kita, bagaimana kita bisa ikut membantu para abang tersebut dengan pengetahuan yang memadai tentang kebersihan proses produksi, bahan pengawet, bahan pewarna dan bumbu penyedap.
Kita pasti setuju bahwa penggunaan zat pengawet, zat pewarna serta bumbu penyedap secara sembarangan tidak bisa ditolerir. Tentu tidak mudah untuk mengawasinya.
BPOM memang sudah memberikan petunjuk, informasi dan larangan. Masalahnya apakah informasi itu sampai di tingkat abang-abang tersebut. Peredaran makanan jenis tersebut di tingkat pedagang informal sangat luas. BPOM juga hanya bisa melakukan uji sampling secara periodik, sedangkan jangkauan para pengguna zat-zat tersebut sangat luas. Apakah sarana dan parasarana di BPOM memadai? Sulit diketahui.
Menghindari makanan favorit tersebut jelas sangat sulit. Abang-abang juga akan menjadi korban bila kita berkampanye dengan aktif.
Mengharuskan abang-abang tersebut memproses makanannya sesuai standar higienis dan memakai bahan-bahan yang baik tentu akan melambungkan harga jual mereka. Belum lagi mereka juga tidak punya modal untuk itu. Padahal konsumen mayoritas adalah rakyat kecil. Ini betul-betul tantangan yang sangat sulit.
Betul-betul dilema negara yang mayoritas rakyatnya masih miskin.
Yang jelas tubuh kita sudah dijejali oleh berbagai zat yang berpotensi sebagai racun yang sebagian akan tetap mengendap dalam tubuh. Belum lagi racun lain dari luar yang tiap hari kita hisap yang berupa kandungan Carbon Mono Oksida, Timbal dan Logam Berat lain. Juga racun berupa logam berat atau garam-garam yang kita minum dari air sumur yang mungkin tidak pernah kita periksakan kualitasnya.
“Hati” sebagai stasiun penyaring dan pembuang racun dalam tubuh kita, tentu kemampuan kerjanya terbatas. Dia sudah kita paksa untuk bekerja ekstra keras. Tentu ada batas kemampuannya.
Lengkap sudah bahwa diri kita sebetulnya sudah menjelma menjadi si “Penimbun Racun”.
Salam Kompasiana.

No comments:

Post a Comment