Sholat Jum’at di Paris – Paris series
Prancis adalah negara yang menganut konsep laïcité, yaitu suatu konsep bentuk negara dimana agama tidak mencampuri urusan negara dan negara juga tidak mencampuri dalam urusan agama. Kurang lebih komposisi pemeluk agama di Prancis adalah 51% Katolik, 31% atheis, 4% Islam, 3% Protestan, 1% Yahudi dan 10% beragama lain-lain. Pemeluk agama Islam di Prancis berasal dari Aljazair, Maroko, Tunisia, Turki, Sub-Sahara Afrika, Timur Tengah, Asia dan lain-lain. Terbesar adalah dari Aljazair yang mencapai sekitar 1,5 juta orang. Dengan fakta ini, berarti paling tidak saya bisa menemukan Masjid di Paris.
Benar saja, setelah sibuk menelisik buku Traveler Paris, terdapat informasi mengenai Grande Mosquée de Paris yang terletak di Quartier Latin atau di 5e arrondissement (distrik ke-5) Paris. Saya tertarik untuk sholat Jum’at disana karena selain wajib tentunya untuk muslim, ingin tahu juga suasana sholat Jum’at di kota seribu gereja ini. Pengalaman yang unik karena masjid ini adalah masjid terbesar di Paris yang mana pasti saya bisa menemui banyak muslim dari berbagai etnis yang menghuni kota Paris.Siang itu cukup dingin ketika saya keluar, angin kecil menerpa wajah saya. Menurut ramalan cuaca yang saya lihat di televisi pagi ini, kota Paris diramalkan akan berawan sebagian atau cerah dengan suhu 10-12 derajat Celcius. Cukup bersahabat lah untuk ukuran Paris minggu-minggu ini, tetapi supaya siap dengan cuaca yang lebih dingin saya tetap memakai jaket hangat dengan baju lapis tiga. Saya menumpang Metro Ligne 7 yang menuju stasiun Villejuif – Louis Aragon dan turun di stasiun Censier Daubenton. Setelah agak berputar-putar sedikit akhirnya saya menemukan bangunan yang sekilas atapnya mirip klenteng Cina. Oho, ini dia rupanya masjid Paris.
Kurang tepat sih. Itu sebenarnya bukan tampak depan dari masjid, melainkan restoran khas Timur Tengah yang mana kompleks Grande Mosquée de Paris ini hampir menyatu dengan restoran ini. Iseng-iseng lihat harga makanannya yang terpampang dipintu masuknya. Walah, 28 euro! Mahalnya bukan main! Sekitar Rp. 350.000 kalau dikonversi ke rupiah. Jelas-jelas bukan pilihan makan siang yang tepat setelah Sholat Jum’at. Setelah putar-putar, bingung juga mencari pintu masuknya. Ketika itu masih sekitar jam 11:30 siang, sedangkan Sholat Jum’at baru diadakan sekitar jam 13:00, pintu masuk utamanya belum dibuka rupanya. Dengan berpatokan pada menara masjid, akhirnya saya temukan juga pintu masuk dari samping Masjid.
Saya masuk ke dalam Masjid dan sedikit kebingungan mencari tempat penitipan sepatu. Saya amat-amati, rupanya sudah kebiasaan muslim di Paris untuk berwudhu dulu baru menaruh sepatu. Tempat wudhu itu ruangan yang tidak terlalu besar untuk ukuran masjid yang katanya terbesar di Paris, sekitar 8 x 10 meter saja. Ditengah-tengah tempat wudhu terdapat banyak keran air, ada bangku-bangku panjang yang mengelilingi tempat wudhu untuk membuka sepatu, banyak tempat sandal jepit (voila!) dan gantungan baju. Saya mengikuti saja ritual orang-orang disekitar saya, duduk dibangku panjang dan membuka sepatu untuk kemudian berwudhu. Disebelah saya duduk seorang pemuda dengan umur sekitar awal 30-an. Paras wajahnya khas orang Aljazair, mas-mas Aljazair nih. Dia sedang membuka sepatunya untuk berwudhu.
“Pardon, vous parlez l’anglais?” tanya saya dengan sangat berharap dia bisa berbahasa Inggris.
“Yes, a little” jawabnya dengan tersenyum, jawaban yang membuat saya lega karena keterbatasan bahasa Prancis saya.
Saya langsung menanyakan dimana nanti menaruh sepatu dan tas saya ini. Dia bilang kita bisa menaruh sepatu didalam ruangan sholat. Heh? Ga salah tuh sambil sholat trus kecium bau kaos kaki?? Bisa-bisa mabuk bau kaos kaki duluan sebelum selesai sholat. Sambil tersenyum saya mengucapkan terima kasih atas informasinya sambil dalam hati bertanya-tanya.
“Assalamualaikum!” seseorang menyampaikan salam dengan keras begitu memasuki ruangan wudhu. Semua langsung kompak menjawab salam. Orang tersebut mengambil tempat duduk dikursi panjang dan langsung menyalami orang yang duduk disebelahnya. Saya kira mereka semua saling kenal, ternyata mereka tidak ada yang saling kenal satu pun. Bagus juga kebiasaan mereka ini.
Kemudian saya menyambar salah satu sandal jepit dikotak sandal dan mengambil wudhu dengan cepat-cepat karena airnya langsung terasa mak nyesssss, dinginnya bok!!! Basah-basah habis wudhu, langsung saja saya pakai kaos kaki saya, lumayan, terasa lebih hangat. Saya mengikuti orang-orang yang selesai berwudhu menuju ke ruangan masjid sambil menyeret sepatu karena cuma saya pakai seperti sandal.
Ruangan didalam masjid masih lengang sekali, agak temaram karena ruangannya tipe semi-basement. Tentu saja ruangan besar terbuka masjid seperti halnya di Indonesia tidak bisa dipakai karena bulan-bulan ini di Paris termasuk bulan dengan cuaca yang cukup dingin. Jika ruangan masjid yang besar dan terbuka seperti di Indonesia dipakai sekarang, bisa-bisa semua jamaahnya jadi kaku-kaku bersila ditempat karena dingin.
Dibagian barisan paling belakang terdapat rak-rak panjang berwarna biru yang jumlahnya banyak. Ini dia rupanya yang dimaksud mas-mas Aljazair tadi. Tidak ada petugas penyimpanan sepatu/sandal, semuanya swalayan dan tidak ada nomor pada rak-rak tersebut. Saya menaruh sepatu ditempat yang paling mudah diingat, kalau ketukar sama yang jelek kan bisa berabe. Saya melepas jaket hangat saya supaya gerak saya menjadi lebih leluasa, saya simpan didalam ransel saya. Baju tiga lapis dan kaos kaki tebal tetap saya pakai karena ruangannya tidak terlalu hangat juga rupanya. Kostum saya ini terbilang cukup lengkap untuk ukuran orang Indonesia yang mau sholat Jum’at, tapi saya cuek saja, toh yang kedinginan saya kan?
Karpet-karpet yang melapisi lantai masjid terlihat tidak baru dengan motif yang bermacam-macam, maksudnya shaf yang pertama warna biru, shaf yang kedua ada yang hijau dan ada yang coklat, shaf ketiga warna abu-abu, dll. Batas antara shaf yang terbuat bahan yang melekat (selotip) tidak terlalu jelas karena pembatasnya ada yang masih utuh menempel dikarpet dan ada juga yang sudah lepas-lepas. Cukup sederhana untuk ukuran masjid yang katanya terbesar di Paris ini.
Saya mengambil tempat dekat tiang karena saya bisa menaruh tas yang saya sandarkan ditiang. Sambil duduk bersila saya melihat sekeliling ruangan. Rupanya ruangan masjid ini bisa disulap menjadi ruang pertemuan karena terdapat beberapa pintu masuk yang disamarkan dengan kain gorden. Ada jam dinding model bulat sederhana tergantung didepan, mimbar kayu yang sederhana serta beberapa rak buku berisikan Al Qur’an dan buku-buku agama.
Lama-kelamaan ruangan mulai terisi oleh Jamaah Sholat Jum’at yang lain dan duduknya mulai sedikit berjejalan. Saya perhatikan memang sebagian besar orang Aljazair yang memenuhi ruangan ini, sisanya adalah orang-orang berkulit hitam legam dari negara-negara Sub-Sahara (i.e.: Angola, Botswana, Namibia, Nigeria, Tanzania, dll). Hampir semua jamaah sholat Jum’at masih mengenakan setelan lengkapnya seperti baju hangat ataupun jaket panjang, kaos kaki tebal dan kupluk hangat (balaclava). Ternyata saya tidak sendirian dengan kostum lengkap saya, hampir semua orang seperti saya. Malah ada yang sarungan, trus ada juga yang pakai sweater berkupluk lengkap dengan celana olahraga yang bergaris-garis. Pegawai negeri ya mas, kalo hari Jum’at paginya olahraga dulu, hehehe.
Sebelum khotbah dimulai, ada kata pengantar dari pengurus Masjid yang separuh bahasa Prancis dan separuh bahasa Arab. Akhirnya khotbah pun dimulai dengan menggunakan bahasa Arab, baik ceramah pertama maupun ceramah kedua. Saya hanya termenung saja karena saya memang tidak mengerti bahasa Arab. Sekitar 30 menit kemudian (standar lamanya ceramah Jum’at) khotbah berakhir dan sholat Jum’at pun dimulai.
Sholat Jum’at pun akhirnya selesai. Setelah membaca doa, saya beranjak bangkit dan bergegas ke rak sepatu. Antrian pengambilan sepatu tidak terlalu penuh, tertib meskipun tidak ada penomoran rak dan tentu saja disini tidak ada maling sepatu, meskipun untuk melakukannya kesempatannya lebih besar.
Setelah mengikat tali sepatu, saya berjalan menuju lorong menuju jalan keluar. Sama seperti di Indonesia, jika ruangan utama Masjid tidak mampu menampung jamaah sholat Jum’at, maka digelarlah karpet ditempat-tempat yang cukup luas seperti dilorong atau halaman depan Masjid.
Saya melangkah melalui gerbang utama Masjid, wow! Cuacanya cukup cerah sekarang. Tak sadar ternyata digerbang luar saya langsung disambut peminta-minta. Berbeda dengan peminta-minta di Indonesia yang biasanya menadahkan tangan atau mangkok kecil, mereka meminta uang dengan cara dua orang merentangkan kain putih yang lebarnya sekitar 1 meter, makin kebawah membentuk corong dan ujung bawahnya terdapat kantong besar. Para penyumbang tinggal melemparkan uang ke kain putih tsb, yang penting kena kainnya, pasti uang akan merosot kebawah dan masuk ke kantong besar. Memudahkan pemberi sumbangan memberi uang. Efektif juga ya? Peminta-minta di Indonesia harus belajar nih sama mereka hehehe.
Sejurus kemudian, saya berdiri mengagumi menara Masjid dan gerbang Grande Mosquée de Paris yang dihiasi dengan berbagai ukiran serta diatasnya terdapat lambang bulan dan bintang.
Grande Mosquée de Paris ini didirikan setelah Perang Dunia I sebagai tanda rasa terima kasih pemerintah Prancis terhadap koloni tirailleurs (penembak jitu) Muslim yang berjuang melawan Jerman. Arsitektur masjid dengan menara setinggi 33 meter ini mengikuti gaya Mudéjar, yang merupakan simbiosis antara teknik dan cara pemahaman suatu arsitektur yang muncul dari kebudayaan hidup berdampingan antara Muslim, Kristen dan Yahudi. Tidak seperti gaya Gothic atau Romanesque, gaya mudéjar tidak melakukan inovasi apapun melainkan melakukan interpretasi ulang gaya budaya Barat melalui pengaruh Islam. Gaya mudéjar ini mulai muncul di abad ke-12 di semenanjung Iberia dan ciri khas arsitekturnya adalah penggunaan batu bata sebagai material utama. Presiden Gaston Doumerge meresmikan masjid ini tanggal 15 Juli 1926. Ahmad Al-Alawi (1869-1934), seorang sufi Aljazair, memimpin sholat pertama kali dimesjid baru tersebut dan dihadiri oleh presiden Prancis.Cukup lah kilas balik sejarah masjid ini, sekarang kita lihat keadaan disekeliling masjid ini setelah Sholat Jum’at.
Gambar kiri atas – Penjual Roti. Tentunya setelah sholat Jum’at banyak yang lapar dong, apalagi waktunya pas dengan makan siang. Bagi yang menginginkan makanan yang siap saji dan super-duper murah, silahkan membeli roti ceper (ga tahu nama aslinya apa) ke ibu yang membawa tas motif kotak-kotak warna hitam dan putih. Roti ceper ini bentuknya bundar seperti pizza, tetapi rasanya tawar, tebal, tidak ada topping seperti pizza dan yang jelas sangat murah, 1 euro doang! Ibu-ibu tersebut sudah siap tempur banget dengan menyiapkan barang dagangannya sebanyak satu tas penuh. “Un pour moi, s’il vous plait” sahut saya sambil merogoh saku mencari uang koin satu euro. Roti ceper bundar yang mengepul karena masih hangat itu digulung dulu oleh si Ibu, kemudian baru dibungkus alumnium foil. Dengan lahap saya memakan roti ceper ini. Nikmatnyaaa… soalnya ga ada yang lain hehehe.
Gambar kanan atas – Gerombolan Si Hitam. Bukannya bermaksud rasis, mereka-mereka yang berkulit hitam ini lebih suka berkelompok sendiri daripada dengan Muslim lain, seperti dari Aljazair. Mereka bercakap-cakap dengan asyik dan lepas seperti bertahun-tahun tidak bertemu, kadang diselingi tertawa keras. Tentunya mereka semua nyerocos pakai bahasa Prancis. Entah apa yang mereka bicarakan.
Gambar kiri bawah - Pemuda Muslim Aljazair. Mereka ini besar kemungkinan adalah generasi ke-3 (atau mungkin ke-2) dari keluarga keturunan Aljazair yang tinggal dan beranak-pinak di Paris. Bagus juga orang tua mereka mendidik anak-anak mereka tidak terseret ke kehidupan Prancis yang cenderung tidak percaya adanya Tuhan.
Gambar kanan bawah – Polisi dan Detektif. Bagaimana tahunya itu polisi dan detektif? Hah! Gampang banget. Kalo polisi jelas, mereka pakai seragam dan mobil mereka ada tulisan Police. Sedangkan detektif biasanya mereka memakai jaket dengan kancing tertutup serta tangan dimasukkan saku (itu karena dingin tahu! hehehe). Detektif menyapu pandangan dengan melihat ke kanan-kiri cukup sering dibandingkan orang lain. Selain itu dasbor mobilnya terdapat lampu strobe yang bisa sewaktu-waktu dipasang diatap mobil seperti difilm-film.
Ngapain Polisi dan Detektif ada disekitar Masjid? Pengamatan saya, di Paris sering terdapat demonstrasi yang berujung pada kerusuhan dan perusakan besar-besaran. Massa yang berkumpul disuatu tempat merupakan potensi adanya demonstrasi dan juga kerusuhan. Momen setelah sholat Jum’at adalah momen dimana massa muslim berkumpul dalam jumlah yang cukup banyak. Untuk menghindari hal-hal yang buruk, aparat keamanan berjaga-jaga dan melaporkan kepada markas mereka kalau-kalau mereka memerlukan bantuan. Benar saja, setelah kelompok-kelompok massa banyak yang membubarkan diri dan jumlah orang yang berada disekitar masjid tinggal sedikit, mobil polisi dan mobil detektif itu langsung meluncur pergi.
Saya melahap sisa roti ceper yang saya beli sambil meneguk es teh didalam botol yang saya bawa-bawa di tas saya. Mengesankan juga Sholat Jum’at di Paris… Mau kesana juga? Ini dia alamatnya:
Grande Mosquée de Paris
2 Place du Puits de l’Ermite, 75005 , Paris
Téléphone: 01 45 35 97 33
Télécopie (fax) : 01 45 35 16 23
Métro lace Monge, Jussieu, Censier Daubenton
http://www.mosquee-de-paris.net/
No comments:
Post a Comment