Search This Blog

Saturday, May 21, 2011

in Bangkok

Lost in Bangkok (Day 2)

Published by surya at 08:58 under BudayaKota and tagged: ,
Alhamdulillah dan Selamat Pagi Bangkok. Yeah, itulah dua kata pertama yang muncul dari mulutku ketika bangun di pagi hari, 15 Januari 2011. Pagi itu adalah pagi pertama sekaligus hari keduaku di Bangkok. Hmm… udara Bangkok pagi hari.. Segar? Gak juga. Biasa aja ternyata, he he.
img_6701_blog
Sesuai dengan meeting semalam sebelum tidur, kami akhirnya memutuskan untuk ke Ayutenan, eh Ayuthhaya di hari kedua ini. Kenapa Ayuthhaya? Ada apa di kota yang terletak di sebelah utara Bangkok ini? Bukannya Pattaya lebih menarik?
Dibawah ini adalah beberapa alasan yang membuat kami lebih memilih Ayuthhaya daripada Pattaya:
- Dari beberapa info yang kami dapat di internet, suasana Pattaya tidak jauh berbeda dengan Kuta, bahkan untuk pantainya masih jauh lebih bagus Bali. Untuk benar-benar menikmati suasana di Pattaya, pagi dan siang hari bukan saat yang tepat, karena kehidupan di Pattaya baru dimulai ketika sore menjelang hingga tengah malam.
- Mengunjungi Ayutthaya sama artinya dengan menikmati sebuah perjalanan sejarah negara Gajah Putih. Ini karena kota ini pernah menjadi ibu kota Thailand di masa lampau, sebelum akhirnya hancur diserang oleh Burma. Banyak sekali reruntuhan wat/candi disana yang menjadi bukti bahwa kota ini dahulunya adalah pusat pemerintahan.
- Perjalanan menuju Ayutthaya adalah perjalanan yang menarik, karena jika berangkat dari Khao San Road, maka kami akan menggunakan hampir semua moda transportasi umum kota Bangkok, mulai dari perahu menyusuri sungai Chao Phraya, lalu dilanjutkan dengan BTS, MRT dan terakhir kereta antar kota. Pengalaman menggunakan aneka macam moda transportasi ini pastinya akan menambah banyak pengalaman dalam perjalanan hidup kami.
Perjalanan kami mulai jam 8 pagi. Suasana jam 8 pagi waktu Bangkok serasa seperti jam 7 pagi di Surabaya atau Jakarta. Sebelum menempuh perjalanan yang lumayan panjang dan memakan waktu seharian full, ada baiknya mengisi tenaga terlebih dahulu. Karena pilihan makanan halal yang agak sulit di kawasan Khao San Road, maka kami memutuskan untuk sarapan dengan roti oles mentega dan secangkir milo hangat dari 7 Eleven. FYI, sarapan roti adalah sebuah perjudian bagiku, karena dalam sejarah hidupku, aku tidak akan sanggup bertahan lama dengan hanya sarapan roti. Maklumlah, orang Indonesia aseli, gak disebut makan kalau gak makan nasi, he he.
Kami sarapan sambil menikmati suasana pagi di Santichal Prakarn Park, taman yang terletak di sisi Sungai Chao Phraya. Di taman ini terdapat bangunan benteng kuno yang masih lengkap dengan meriamnya, yakni Phra Sumne Fort. Dari taman ini pula, kita bisa melihat jembatan Rama Bridge VIII, sebuah jembatan kebanggan kota Bangkok yang konstruksi bangunannya mirip dengan Jembatan Barelang di Batam.
Setelah sarapan, kami segera menuju ke Phra Arthit Pier atau Pelabuhan Phra Arthit. Pelabuhan ini adalah salah satu pelabuhan di jalur pelayaran Sungai Chao Phraya. Kode pelabuhan ini adalah N13. Dari sini, kami akan naik kendaraan umum berupa perahu berwarna hijau (Orange Boat), dengan tarif 14 Baht per orang sekali jalan. Untuk pembayaran bisa dengan pembelian tiket di pelabuhan, atau langsung membayar di atas perahu.
Setelah kemarin terkagum-kagum dengan megahnya bandara Suvarnabhumi, pagi ini aku dibuat kagum dengan kehebatan Thailand dalam pemanfaatan potensi sungai yang ada. Jauh sekali jika dibandingkan negara kita. Sebagai informasi, angkutan air di Bangkok tidak hanya pada Sungai Chao Phraya, hampir di semua sungai-sungai yang membelah Bangkok, ada perahu boat umum disana.
Kami menyusuri sungai hingga pelabuhan Sathorn. Banyak sekali penumpang yang turun di sini, karena Pelabuhan ini interchangedengan stasiun BTS Saphan Taksin. Dan kami pun turun karena akan melanjutkan perjalanan dengan BTS.
Sesuai informasi dari peta kendaraan umum yang kudapat dari Internet, dari Stasiun Saphan Taksin, kami naik BTS menuju Stasiun Sala Daeng. Tarif BTS untuk rute ini adalah 25 Baht per orang sekali jalan. Pembelian tiket BTS bisa menggunakan mesin-mesin tiket yang terdapat di Stasiun. Cara penggunaannya cukup mudah. Cukup pencet stasiun tujuan kita yang tertera di mesin, otomatis mesin akan memberikan info, berapa baht yang diperlukan. Setelah itu kita masukkan koin Baht kita ke dalam mesin sesuai dengan harganya dan tiket pun keluar.
Jika ingin praktis, bisa juga membeli kartu smart day. Harganya 150 Baht dengan sudah terisi voucher sekitar 50 Baht. Atau ada juga kartu One Day Pass.
Dari stasiun BTS Sala Daeng, kami turun, untuk bertukar kembali moda transportasi. BTS Sala Daeng ini interchange dengan MRT Silom. Dari MRT Silom kami menuju stasiun Hua Lamphong. Sebenrnya tidak ada bedanya antara BTS dan MRT, keduanya sama-sama kereta. Perbedaannya hanya pada letaknya saja, kalau BTS keretanya ada di atas jalan, sedangkan MRT adalah subway a.k.a kereta bawah tanah.
Naik BTS dan MRT sangat menyenangkan. Keretanya cepat, tepat waktu dan nyaman. Kita bisa menghemat banyak waktu dengan moda transportasi ini. Jadi berandai, kapan Jakarta atau Surabaya punya kayak ginian. Rasanya kok mimpi kali yee.
Dari Stasiun Hua Lamphong, kami berpindah angkutan umum lagi. Kali ini kami naik kereta rakyat kecil alias kereta ekonomi (atau kalau di Bangkok disebuat Kereta 3rd class) yang akan membawa kami ke Ayutthaya. Sama seperti kereta ekonomi di Indonesia, tidak ada nomor tempat duduk di tiket. Harganya cukup murah, hanya 15 baht per orang sekali jalan. Jadwal keberangkatan kereta kami adalah pukul 11.20 siang.
Suasana di kereta ini tidak jauh beda dengan kereta ekonomi di Indonesia seperti ramai, penumpang yang membawa barang bawaan segede gaban hingga hilir mudiknya pedagang asongan. Hanya saja kereta di Bangkok ini tampak lebih bersih. Selain itu, untuk urusan waktu mereka juga tepat, meskipun kereta ekonomi kelas 3 sekalipun.
Perjalanan Bangkok – Ayutthaya memakan waktu sekitar 1 jam 40 menit. Pemandangan selama perjalanan tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Jalan raya, Vegetasi hingga pemukiman kumuh Thailand menjadi sajian mata kami.
Kami sampai di stasiun Ayutthaya sekitar jam 1 siang. Aku pernah membaca di sebuah blog (maaf, aku lupa blognya siapa), yang menggambarkan bahwa melihat kehidupan di stasiun Ayutthaya seperti melihat sebuah gerakan slow motion. Semua serasa bergerak sangat lambat.
Sesampainya di Ayutthaya, kami langsung mencari tuk-tuk yang bisa disewa keliling kota. Kami akhirnya bertemu seseorang bernama Nokool. Dia mengaku sebagai polisi sambil menunjukkan fotonya yang tertempel pada sebuah mading. Mading tersebut adalah mading informasi keamanan Ayutthaya yang dilengkapi dengan beberapa foto anggota polisi yang menjadi contact person jika mempunyai masalah keamanan selama di Ayutthaya. Nokool ternyata juga mencari sampingan sebagai supir tuk-tuk, he he he. Setelah nego ketat, kami pun akhirnya mendapat harga 700 baht untuk berputar-putar Ayutthaya selama 3 jam. Kenapa 3 jam? Karena jadwal kereta ekonomi yang ke arah Bangkok yang paling masuk akal adalah jam 16:15. Jadwal setelahnya adalah 18:30, dan ini terlalu malam buat kami, karena kami juga punya rencana keliling kota Bangkok malam ini. Harga 700 baht ini sebenarnya masih bisa ditawar lagi, tapi karena tidak ada supir tuk-tuk lagi disitu, ya kami ambil saja. Standardnya sih untuk berputar-putar Ayutthaya dengan tuk-tuk, satu jam dihargai 250 baht.
Ada yang menarik saat negosiasi harga. Karena bahasa inggrisnya yang belum terlalu fasih, dia menggunakan kalkulator sebagai sarana negosiasi. Selain itu, sebagai promosi, mereka membawa foto-foto dengan berbagai macam wat yang terdapata di Ayuthhaya.
Setelah negosiasi, kami pun dibawa menuju tuk-tuk-nya. Dan ternyata, bukan tuk-tuk yang akan mengantar kami keliling Ayutthaya, tapi sebuah sedan corolla altis. Oalah, kalau gini sih, yaworth it bayar 700 baht untuk 3 jam, he he he.
Tujuan pertama kami adalah Wat Yai Chaimongkhon. Bagi pembaca wongkentir yang ingin ke Ayutthaya tetapi tidak tau mau kemana saja atau tidak tahu wat mana saja yang menarik? Jangan khawatir. Sang supir, merangkap guide, akan menunjukkan foto-foto berbagai macam wat yang ada disana, dan kita nanti yang disuruh menentukan pilihan, mau kemana saja. Setelah itu mereka akan mengarrange urutan lokasi mana saja yang akan didatangi agar kunjungan bisa optimal.


Kami tidak bisa menjelaskan satu persatu kisah di balik semua wat-wat yang kami kunjungi, karena kami tidak mengikuti tur keliling ataupun guide yang bisa menjelaskan pada kami. Si Nookol pun lebih memilih untuk menunggu di mobil daripada mengawal kami keliling. Jadi ya, enjoy the photo saja ya pembaca. Tiket masuk Wat Yai Chaimongkhon adalah gratis. Entahlah ini gratis benerana atau enggak, yang pasti tidak ada yang meminta uang tiket kepada kami ketika berkunjung kesana.
Di Wat Yai Chaimongkhon terdapat sebuah patung budha tidur, yang konon menjadi inspirasi dibangunnya Wat Phoo di Bangkok.
Kami menghabiskan sekitar 35 menit disini. Mengambil foto-foto yang menarik dari reruntuhan kuno Thailand ini.
Perjalanan selanjutnya adalah Wat Mahathat. Ini adalah komplek Wat terbesar di Ayutthaya dan yang paling terkenal dengan bagian paling menarik adalah Patung kepala budha yang terperangkap dalam akar pohon. Tiket masuk Wat Maha That adalah 50 baht per orang.
Cukup lama kami berada disini, sekitar 1 jam. Ini karena luasnya komplek dan banyaknya objek yang menarik disini. Aku mencoba berlogika, mungkin wat maha that inilah pusat dari kota Ayutthaya. Satu jam disini terasa sangat cepat, sehingga rasanya masih kurang. Tapi demi melihat wat-wat yang lain, kami pun cukupkan satu jam saja disini.
Dari Wat Maha That, kami bertolak menuju sebuah kuil (atau wihara ya) bernama Thanon Si Sanphet. Di sampingnya terdapat Wat Phrasisanpethh. Waktu kedatangan kami di Thanon Si Sanphet, suasana disana sangat ramai. Banyak sekali orang beribadah. Didalam kuil ini terdapat sebuah patung Budha berwarna kuning emas yang sangat besar.
Dari sini, kami sebenarnya ingin masuk kedalam komplek Wat Phrasisanpethh, tapi karena harus bayar 50 baht per orang, kami pun hanya foto-foto di luar wat. He he… hemaattt. :). Lagian foto-foto diluar pagar juga sudah cukup. Watnya tetap kelihatan kok, he he. Wat Phrasisanpethh ini berbeda dengan dua wat yang kami datangi sebelumnya. Jika dua wat sebelumnya dibangun menggunakan batu bata merah, Wat Phrasisanpethh ini dibangun dari batu.
Dan wat terakhir yang kami kunjungi di Ayuthhaya pada kunjungan ini adalah Wat Ratcha Burana. Untuk masuk kedalam, tiket masuknya 50 baht per orang. Wat ini juga terbuat dari batu bata merah seperti dua wat pertama.
Setelah dari Wat Ratcha Burana, kami diantar kembali ke stasiun, dan Alhamdulillah kami berhasil mengejar kereta jam 16:15 dan tiba dengan selamat di Bangkok tepat pukul 18:00. Tiket kereta ekonomi 3rd class dari Ayutthaya ke Bangkok adalah 20 baht per orang.
Oh iya rekan-rekan pembaca wongkentir, ada yang istimewa dari perutku hari ini. Sejak sarapan pagi tadi hingga malam menjelang, aku belum makan lagi lho. Wah, perutku ini sangat pengertian. Bukannya niat berhemat, tapi memang tidak terasa lapar. Mungkin karena exiting dengan perjalanan, jadinya tidak terasa lapar sama sekali.
Setelah sampai Bangkok, kami langsung menuju Siam dengan naik MRT dari Stasiun Hua Lamphong, disambung dengan BTS. Di Siam kami mencari masjid Darul Falah yang keberadaannya kami ketahui secara tidak sengaja di Google Maps. Dalam perjalanan mencari masjid, kami menemukan sebuah warung makan yang terdapat banyak sekali kaligrafi dan gambar ka’bah. Mendadak perut terasa lapar. Kami pun bertanya ke penjualnya. “This is a halal food?”. Dan tahukah pembaca jawaban yang kami terima bukan yes or no, tetapi sebuah sapaan lembut yang diajarkan Rasulullah kepada umatnya, “Assalammu’alaikum”. Subhanallah, rasanya sangat indah sekali mendengar kalimat itu di negara minoritas muslim. Ya Allah, luar biasa sekali.
Sebuah nasi goreng ayam dengan fanta menjadi pilihan santap malam kami. Rasanya cukup pas di lidah kami. Hmm.. sangat nikmat sekali, apalagi dimakan pada saat perut lapar. Alhamdulillah, atas rahmat-Mu ya Allah.
Di tengah-tengah menikmati makanan, kami mendengar adzan Isya’ berkumandang. Subhanallah. Indah sekali seruanmu ya Allah. Ini berarti kami sudah dekat dengan tujuan kami.
Nasi goreng Thailand rasanya tidak jauh berbeda dengan nasi goreng di Indonesia, hanya saja disana disediakan sambal tambahan bagi yang merasa kurang pedas. Aku mengambil sedikit, dan rasanya luar biasa pedas.. Tampaknya krisis cabe di Indonesia tidak menular ke negeri tetangga.
Rasanya ga jauh beda dengan di Indo, harganya? Juga tidak jauh berbeda pula ternyata. 30 baht per piring atau sekitar 9000 rupiah. Sedangkan minumnya 15 baht.
Setelah perut kenyang terisi, kami segera menuju masjid Darul Falah. Suasananya sangat sepi dan pagar masjid terkunci. Kami mengucap salam, berharap ada penjaga masjid yang membukakan pintu pagar seperti di Indonesia. Semenit, dua menit, lima menit, tidak ada jawaban salam kami. Kami pun mulai putus asa. Ketika hampir menyerah, tiba-tiba datang sebuah motor dan berhenti di depan pintu pagar.
“Assalammu’alaikum”, sebuah salam terucap dari si pengendara.
“Wa’alaikumussalam”, jawab kami serempak. Kami pun mengutarakan niat kami untuk numpang sholat. Beliau langsung mempersilahkan kami masuk.
Bangunan masjid Darul Falah ini mempunyai dua lantai. Lantai pertama tampaknya digunakan sebagai ruang pertemuan, dengan adanya beberapa perabot seperti meja, kursi dan lemari. Tempat wudhu dan toilet juga ada di lantai pertama. Sedangkan tempat sholat berada di lantai dua.
Hmm… rasanya nyaman sekali bisa sholat di masjid di negara yang muslimnya minoritas. Jadi bersyukur dan merasa beruntung, bisa setiap hari mendengarkan adzan di Indonesia.
Setelah hati tenang, saatnya untuk kembali pulang ke hotel. Untuk mempersingkat waktu, kami langsung naik taksi menuju Khao San Road. Ongkosnya 61 baht. Kami turun di depan jalan khaosan road, karena sebelum ke hotel, kami ingin mampir ke Democracy Monument dan istana King Rama III Memorial terlebih dahulu.
Setelah puas berfoto ria, kami kembali ke hotel dengan berjalan kaki. Kami kembali menyusuri Jalan Khao San Road, menikmati malam minggu bersama ratusan backpackers Bangkok. Suasananya sangat riuh dan ramai, lebih ramai dari kemarin malam. Sambil berjalan-jalan, aku mengamati banyak sekali hotel-hotel budget yang pernah kubaca namanya di Agoda atau blog-blog rekan-rekan backpacker yang sudah terlebih dahulu menginjakkan kakiknya di Bangkok. Ternyata hotel-hotel tersebut terletak tepat di Jalan Khao San Road, pantesan banyak reviewer yang mengatakan bahwa hotel-hotel tersebut bising dan gaduh. Untung aku memilih Fortville Guesthouse, meski sedikit lebih mahal daripada hotel budget di kawasan ini, tapi suasananya cukup tenang dan nyaman.
Dan tepat pukul 23:30 malam waktu Bangkok, kami sampai di hotel. Fiuh.. perjalanan seharian yang panjang dan melelahkan, tetapi sangat-sangat puas. Sambil meluruskan badan, kami mengamati ratusan gambar yang sudah kami ambil selama seharian ini. Hmm.. Puas.. puas .. puas. Alhamdulillah.
Dan hari kedua di Bangkok pun berakhir.
@Bangkok (Ini biaya 2 orang, jadi biaya per orangnya tinggal dibagi 2 (dalam Baht))
Day 2 (Trip to Ayutthaya)
- Sarapan di 7 Eleven 84
- Naik Kapal Orange boat 2×14 28
- Naik BTS dari Saphan Taksin ke Sala Daeng 2×25 50
- Naik MRT dari Silom ke Hua Lamphong St 2×18 36
- Naik Kereta Ekonomi dari Bangkok ke Ayutthaya 2×15 30
- Sewa Mobil selama di Ayuthhaya 700
- Beli Air Mineral 2×10 20
- Tiket Masuk Wat 2×50 100
- Tiket masuk Wat 2×50 100
- Tiket Kereta Ekonomi Ayuthhaya – Bangkok 2×20 40
- Beli Minum di Stasiun 42
- Toilet ketika di Ayuthhaya 3×3 9
- Naik MRT dari Hua Lamphong ke Si Lom 2×18 36
- Naik BTS dari Sala Daeng ke National Stadium 2×20 40
- Makan Nasi Goreng di Siam plus minum 2×45 90
- Minum Green tea dan aqua 26
- Taxi dari Siam ke Khaosan Road 61
- Beli minuman dan roti di 7 Eleven 50
Total Day 2 1542 baht
Per Orang Day 2 (1542/2) * 305 = 235155 rupiah

No comments:

Post a Comment